Desapenari.id – Pada hari Senin, 29 September 2025, sebuah gelombang penolakan besar akhirnya menyuarakan protesnya. Dengan penuh semangat, sejumlah organisasi pedagang se-DKI Jakarta menandatangani deklarasi bersama; mereka secara resmi menolak sejumlah aturan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Mereka meyakini, aturan baru ini bakal memukul telak para pedagang kecil. Alih-alih melindungi, rancangan ini justru dinilai akan membelenggu perekonomian akar rumput.
Lebih lanjut, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI), Ali Mahsun, dengan tegas memaparkan alasan penolakan mereka. Dia menegaskan bahwa aturan dalam Ranperda KTR sangat berpotensi merugikan pedagang kecil. “Kami menyaksikan bagaimana peraturan ini jelas berpengaruh terhadap pendapatan rakyat kecil yang selama ini jadi tulang punggung perekonomian lokal,” ujar Ali dalam keterangan resminya. Mereka merasa, kebijakan yang digulirkan tanpa pertimbangan matang ini justru akan mencekik para pelaku usaha yang sudah berjuang bertahan di tengah tantangan ekonomi.
Tak hanya itu, gelombang penolakan ini juga diikuti oleh kekuatan besar organisasi pedagang lainnya. Organisasi yang turut serta dalam deklarasi penolakan itu antara lain APKLI, Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara), Warteg Merah Putih (Kowarmart), Paguyuban Pedagang Warteg, dan Pandawakarta. Bersatu padam, mereka menyatakan bahwa suara mereka harus didengarkan. Kekhawatiran kolektif mereka membuktikan bahwa masalah ini bukanlah isu sepele, melainkan persoalan yang menyentuh hajat hidup ribuan keluarga.
Lalu, aturan spesifik apa saja yang mereka tentang habis-habisan? Aturan yang ditolak itu mencakup larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak. Selanjutnya, perluasan kawasan tanpa rokok ke pasar tradisional dan modern juga menjadi sasaran protes. Belum lagi, larangan penjualan rokok eceran serta kewajiban izin khusus untuk berjualan rokok turut mereka anggap sebagai birokrasi yang memberatkan. Secara keseluruhan, aturan-aturan ini dipandang sebagai hambatan baru yang akan mempersulit kelangsungan usaha mereka.
Di tengah kebuntuan ini, Ali Mahsun kemudian menyampaikan harapan besar mereka kepada pemimpin. Dia menegaskan bahwa para pedagang masih berharap perlindungan dari Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, yang pernah berjanji memberi ruang dan akses pasar bagi pelaku usaha kecil. Mereka berharap janji manis tersebut tidak dilupakan. Bahkan, permohonan mereka juga dilayangkan ke tingkat yang lebih tinggi. Ali pun memohon secara langsung kepada Presiden Prabowo Subianto untuk memastikan kebijakan daerah tidak bertentangan dengan arah pembangunan ekonomi kerakyatan.
Dengan penuh keyakinan, Ali pun mengajukan permohonan perlindungannya. “Kami juga memohon perlindungan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk menjamin bahwa kebijakan daerah tidak bertentangan dengan semangat kepemimpinan Presiden yang berpihak pada pelaku ekonomi rakyat kecil,” kata Ali. Mereka percaya, kepemimpinan nasional yang pro-rakyat kecil akan mendengar jeritan hati mereka. Pada akhirnya, kebijakan yang dibuat di level daerah harusnya selaras dengan visi membangun dari bawah yang selalu digaungkan.
Sementara itu, dari sudut yang berbeda, Ketua Kowantara, Mukroni, menyoroti dampak yang lebih mengerikan lagi. Dia secara khusus menyoroti dampak larangan merokok di warung makan kecil seperti warteg. Menurut analisanya, kebijakan tersebut berpotensi menurunkan omzet secara signifikan. Bahkan, data internal Kowantara yang mencengangkan berhasil diungkapkannya. Berdasarkan data internal Kowantara, sekitar 25.000 dari total 50.000 warteg di Jabodetabek dilaporkan sudah tutup pasca pandemi Covid-19. Kini, dengan adanya aturan baru ini, kekhawatiran gelombang PHK dan penutupan usaha massal semakin nyata dan tidak bisa lagi dianggap angin lalu. Masa suram para pedagang warteg ini harusnya menjadi perhatian serius bagi semua pihak sebelum segalanya menjadi terlambat.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com