JAKARTA, Desapenari.id – Getirnya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penataan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) akhirnya menyentuh panggung politik nasional. Pada hari Senin, 29 September 2025, gabungan forum masyarakat, mahasiswa, dan perwakilan desa dari Riau secara resmi melaporkan persoalan pelik ini kepada Komisi XIII DPR RI dalam sebuah rapat yang penuh tensi. Selanjutnya, mereka mendesak agar komisi yang membidangi kehutanan ini segera mengambil tindakan tegas.
Sebagai juru bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan di Riau, Abdul Azis dengan lugas membeberkan akar masalahnya. Menurutnya, seluruh kekacauan ini berawal dari terbitnya Surat Keputusan (SK) 173 tahun 1986 tentang penunjukan kawasan hutan di Riau. “Pada amar ketiga dari SK itu sebenarnya sudah diminta untuk dilakukan penataan batas, namun yang membuat kami geram, hingga detik ini proses penataan batas itu sama sekali tidak pernah dilaksanakan!” tegas Abdul di Kompleks Senayan, Jakarta Pusat. Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa berdasarkan SK 173 tersebut, pemerintah justru menetapkan sekitar 9,3 juta hektar daratan Provinsi Riau dan Kepulauan Riau sebagai kawasan hutan tanpa kejelasan.
Kemudian, rentetan masalah ini semakin menjadi-jadi dengan munculnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.673/Menhut-II/2014. “Tak berhenti di situ, muncullah lagi SK 878 Tahun 2014, dan disusul oleh SK 903 Tahun 2016. Inilah yang kami sebut sebagai patokan bermasalah itu. Oleh karena itu, kami dengan tegas menyatakan bahwa pihak kehutanan telah melakukan pelanggaran HAM sejak awal, atau tepatnya sejak tahun 1986, yang pada akhirnya membuat ribuan warga kami terjebak di dalam kawasan hutan,” jelasnya dengan nada tinggi. Selain itu, Abdul menegaskan bahwa sejak 1986, kawasan hutan itu hanya ditunjuk tetapi tidak pernah sekalipun dikukuhkan sesuai amanat Pasal 14 Undang-Undang Kehutanan.
Tak hanya itu, ia juga mengungkap fakta mencengangkan lainnya. Ternyata, penunjukan kawasan hutan TNTN pada tahun 2004 dan 2009 yang luasnya lebih dari 80.000 hektar sama sekali tidak didahului oleh proses penetapan batas yang transparan. Yang lebih mengejutkan lagi, kawasan yang diklaim sebagai taman nasional ini sebelumnya justru telah dikelola oleh perusahaan-perusahaan sejak era 1970-an. “Jika kita telusuri lebih dalam, justru ada 153 ribu hektar hutan yang pernah diberikan izin tebang kepada 13 perusahaan. Bahkan, nilai kayunya mencapai lebih dari Rp 7,4 triliun jika kita hitung dengan harga kayu campuran Rp 510 ribu per meter kubik!” ungkapnya sambil menyoroti besarnya nilai ekonomi yang telah hilang dari masyarakat.
Di sisi lain, perwakilan dari Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan, Wandri Putra Simbolon, turut menyampaikan dampak langsung yang dirasakan warga. Menurutnya, kebijakan yang amburadul ini telah secara nyata menghantam tujuh desa dengan populasi sekitar 50 ribu jiwa. “Inilah dampak nyata dari TNTN di tujuh desa. Ingat, sejarahnya masyarakat sudah ada di sana sejak lama. Lalu, 50 ribu jiwa ini mau dikemanakan jika pemerintah berniat untuk merelokasi mereka?” tanyanya dengan penuh emosi. “Selain itu, di dalam kawasan TNTN sendiri terjadi banyak sekali pelanggaran. Contohnya, banyak anak terpaksa belajar di bawah pohon kelapa sawit. Ini adalah fakta yang benar-benar nyata, bukan hoaks!” tambahnya dengan suara bergetar.
Lebih parah lagi, Wandri mengungkap bahwa kehadiran satgas penertiban kawasan hutan justru menciptakan atmosfer ketakutan di tengah masyarakat. Bahkan, terjadi dugaan kekerasan yang menimpa anak-anak. “Contohnya, ada aksi pencubitan terhadap anak SD dengan alasan bercanda. Kami semua hidup dalam ketakutan. Untuk itu, kami sangat berharap hasil RDP ini dapat merekomendasikan penarikan satgas tersebut kembali ke pos semula, seperti di barak,” pintanya dengan harap. Akhirnya, seluruh rangkaian kesaksian ini menggambarkan betapa kompleks dan mendesaknya persoalan yang dihadapi warga Riau, menuntut solusi yang berpihak pada keadilan dan kemanusiaan.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com