JAKARTA, Desapenari.id – Sungguh mencengangkan! Grand Paragon Mall di Taman Sari, Jakarta Barat, kini bagai kota yang ditinggalkan penghuninya. Lantas, siapa sangka ternyata gempuran belanja online menjadi biang keladi utama di balik suasana senyap ini.
Tanpa disangka, Jatman (25), seorang karyawan toko pakaian olahraga yang sudah setia menghabiskan lima tahun waktunya di sana, dengan lugas mengungkapkan fakta pahit. Akibatnya, kondisi mal ini terus merosot drastis sejak pandemi Covid-19 melanda. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa salah satu penyebab utama adalah revolusi perilaku belanja masyarakat. Sebagai contoh, kini hampir semua orang lebih memilih bertransaksi daring daripada harus repot-repot datang ke mal.
“Yang bikin jengkel, orang datang cuma lihat-lihat, lalu mereka membuka ponsel untuk membandingkan harga dengan toko online, dan akhirnya pergi tanpa membeli apa-apa,” keluh Jatman dengan nada frustasi, Selasa (14/10/2025). Selain itu, ia menambahkan bahwa pengunjung yang datang kini hanya segelintir pelanggan lama atau tamu hotel yang kebetulan berada satu kompleks dengan mal tersebut. “Pokoknya, yang datang itu-itu aja, paling orang yang nginep di hotel. Kalau warga sekitar, bisa dibilang hampir punah kehadirannya di sini,” ujarnya dengan getir.
Parahnya lagi, upaya penjualan daring pun sama sekali tidak banyak membantu menyelamatkan situasi. Pasalnya, sebagian besar toko di dalam mal malas dan tidak memiliki sistem penjualan online yang aktif dan dikelola dengan serius. “Bos sebenarnya sempat mencoba menjual di marketplace, tapi sayangnya upaya itu tidak kunjung jalan. Alasannya, orang sekarang lebih percaya pada toko online besar yang sudah punya nama,” tambahnya dengan nada pasrah.
Namun demikian, di tengah keputusasaan itu, sebuah keajaiban justru muncul di lantai dasar Grand Paragon Mall, tepatnya di area Grand Lucky Superstore. Meskipun suasana di sana tidak semeriah mal-mal lain di Jakarta, area supermarket ini menjadi satu-satunya oasis yang masih berdenyut penuh kehidupan. Dengan kata lain, titik inilah yang menjadi penyelamat di tengah bangunan besar yang kian hari kering kerontang.
Contohnya, Jafri (34), seorang warga Mangga Besar, mengaku dengan jujur bahwa ia sengaja datang ke Grand Paragon Mall hanya untuk satu tujuan: berbelanja kebutuhan rumah tangga di supermarket tersebut. Kemudian, ia sama sekali tidak tertarik untuk berkeliling ke lantai lain karena sebagian besar tokonya sudah tutup dan bagai kuburan. “Saya cuma ke Grand Lucky aja. Soalnya, di atas sepi banget, kayak mal angker yang sudah ditinggalkan,” ujarnya sambil mendorong troli belanja. “Oleh karena itu, kalau mau beli baju atau makan, saya lebih memilih ke mall lain, karena di sana lebih ramai dan pastinya banyak pilihan,” lanjutnya dengan tegas.
Selaras dengan itu, Arumy (25), seorang pegawai swasta yang sesekali mampir ke Grand Paragon Mall karena dekat dengan kantornya, juga membenarkan kondisi memilukan ini. Menurutnya, Grand Paragon Mall telah kehilangan daya tarik utamanya karena jumlah tenant yang tersisa bisa dihitung dengan jari. “Dulu saya sering makan siang di sini karena banyak restoran pilihan. Akan tetapi, sekarang tinggal supermarket sama bioskop aja yang masih bertahan,” kenang Arumy dengan rindu. “Sebenarnya, mal-nya sendiri masih bagus, tapi kalau toko-tokonya pada tutup, orang pasti malas datang,” tambahnya dengan logika yang sulit dibantah.
Pada akhirnya, Arumy menyimpulkan bahwa salah satu faktor penentu mal ini menjadi sepi adalah karena budaya belanja pembeli telah berubah total. “Mungkin ini adalah sebuah keniscayaan. Saya sendiri sekarang lebih dominan belanja online. Kecuali untuk kebutuhan yang sangat mendesak, seperti belanja bahan masak, barulah saya datang langsung,” tutupnya, menggambarkan sebuah era baru yang tak terelakkan.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com