Desapenari.id – Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) akhirnya menggebrak dengan mendakwa CEO Prince Holding Group, Chen Zhi, pada Rabu (22/10/2025). Mereka menuduh pria ini sebagai dalang di balik jaringan penipuan global yang berbasis di Kamboja. Lebih mencengangkan lagi, jaringan mafia ini disebut-sebut berhasil mencuri miliaran dolar AS dalam bentuk mata uang kripto dari korban yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Bahkan, Departemen Keuangan AS tak main-main dan menyita aset bitcoin senilai sekitar 14 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 232,5 triliun! Aksi penyitaan fantastis ini pun langsung memecahkan rekor sebagai penyitaan aset kripto terbesar sepanjang sejarah.
Melalui pernyataan bersama yang dibacakan oleh Jaksa Agung Pamela Bondi dan Wakil Jaksa Agung Todd Blanche, Amerika Serikat menyampaikan tekad bulatnya. “Dengan membongkar kerajaan kriminal yang dibangun di atas kerja paksa dan penipuan, kami menegaskan bahwa Amerika Serikat akan menggunakan seluruh kekuatannya untuk melindungi korban, memulihkan aset yang dicuri, dan mengadili pelaku,” tegas mereka seperti yang dilansir CBS News. Lantas, siapa sebenarnya Chen Zhi yang kini menjadi buronan paling dicari? Dan yang lebih penting, bagaimana mungkin ia membangun kerajaan bisnis yang kini diduga hanya menjadi kedok bagi kejahatan lintas negara yang sangat masif?
Mari kita telusuri jejaknya. Menurut laporan BBC, Chen Zhi ternyata lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Provinsi Fujian, China. Awalnya, ia memulai karier bisnisnya dari perusahaan kecil di bidang permainan daring yang tidak begitu sukses. Kemudian, sekitar tahun 2010, ia memutuskan untuk hijrah ke Kamboja. Di negara inilah, ia mulai merambah sektor properti yang saat itu sedang mengalami perkembangan pesat.
Hebatnya, kedatangannya ke Kamboja benar-benar bertepatan dengan momen ledakan properti yang dipicu oleh derasnya arus modal dari China. Proyek-proyek infrastruktur raksasa dari inisiatif Sabuk dan Jalan China secara langsung memicu kemunculan lahan-lahan baru, sementara para investor China juga sedang gencar mencari alternatif pasar di luar negeri. Akibatnya, wajah ibu kota Phnom Penh pun berubah drastis. Gedung-gedung bergaya kolonial berwarna pastel satu per satu digantikan oleh menara-menara modern dari kaca dan baja. Sementara itu, di Sihanoukville, kota pantai yang dulu tenang, tiba-tiba dipenuhi oleh kasino dan hotel mewah yang mendorong pertumbuhan ekonomi, meski di sisi lain juga membawa serta “aktivitas gelap”.
Pada 2014, Chen Zhi mengambil langkah strategis dengan memperoleh kewarganegaraan Kamboja. Ia mendapatkannya dengan cara membayar investasi minimal 250.000 dolar AS atau sekitar Rp 4,1 miliar. Langkah cerdik ini secara otomatis memberinya hak untuk membeli tanah atas nama pribadi, meskipun sumber kekayaannya pada saat itu masih menjadi misteri. Contohnya, dalam dokumen bank tahun 2019, ia mengaku mendapat 2 juta dolar AS (sekitar Rp 33 miliar) dari pamannya untuk modal awal, namun tanpa disertai bukti tertulis yang kuat.
Tak lama setelah itu, ia pun mendirikan Prince Group yang awalnya fokus pada pengembangan properti. Namun, yang mengejutkan banyak pihak, dalam waktu yang sangat singkat, ia berhasil memperluas bisnisnya ke berbagai sektor strategis seperti perbankan, penerbangan, dan pariwisata. Prince Bank ia dirikan pada 2018, lalu diikuti dengan perolehan lisensi maskapai penerbangan dan rencana ambisius membangun kota futuristik “Bay of Lights” di Sihanoukville yang senilai 16 miliar dolar AS (sekitar Rp 265,7 triliun)!
Kekayaannya pun terus melambung. Ia bahkan berhasil memperoleh paspor Siprus dan Vanuatu melalui skema investasi yang memberinya akses bebas ke Uni Eropa dan kemudahan bisnis lintas negara. Puncaknya, pada 2020, Chen Zhi dianugerahi gelar kehormatan tertinggi di Kamboja, Neak Oknha, setelah ia menyumbang setengah juta dolar AS (sekitar Rp 8,3 miliar) kepada pemerintah.
Namun, di balik semua kesuksesan dan citra baiknya, pihak penyidik justru mulai menaruh curiga. Mereka mempertanyakan sumber kekayaan Chen Zhi yang tumbuh begitu cepat. Meski dikenal dekat dengan lingkaran elite Kamboja—seperti menjadi penasihat Menteri Dalam Negeri, menjalin kemitraan bisnis dengan keluarga mantan perdana menteri Hun Sen, dan aktif mendukung berbagai program sosial—ternyata ada sisi gelap yang tersembunyi.
Berdasarkan penyelidikan AS dan Inggris, Chen Zhi diduga kuat mengendalikan jaringan penipuan daring yang melibatkan perdagangan manusia, pemerasan, dan pencucian uang dalam skaya yang sangat besar. Fakta mengejutkan terungkap justru setelah bisnis perjudian daring dilarang di Kamboja pada 2019. Saat banyak kasino di Sihanoukville tutup, Chen Zhi malah terus berekspansi dengan agresif.
Ia dengan leluasa membeli properti mewah di London, New York, hingga karya seni mahal seperti lukisan Picasso. Perusahaan-perusahaannya pun diduga dipakai untuk mencuci dana hasil kejahatan melalui aset-aset mewah tersebut. Akibatnya, AS dan Inggris tidak tinggal diam dan akhirnya menjatuhkan sanksi terhadap 128 perusahaan dan 17 individu yang dikaitkan dengan Prince Group.
Jaringan ini disebut menggunakan perusahaan cangkang dan dompet kripto untuk memindahkan uang hasil penipuan lintas negara. Yang lebih mengerikan lagi, dokumen sanksi itu menyebut organisasi Chen Zhi terlibat dalam berbagai kejahatan berat, mulai dari penipuan daring, pemerasan seksual terhadap anak di bawah umur, hingga penyiksaan terhadap pekerja yang diperbudak di kompleks-kompleks penipuan di Kamboja.
Sebagai contoh, penyelidikan menyoroti salah satu proyek Prince Group, Golden Fortune Science and Technology Park di dekat perbatasan Vietnam. Lokasi ini diduga kuat menjadi markas operasi penipuan dan perdagangan manusia. Meski perusahaan telah membantah keterlibatan tersebut, bukti keterkaitan bisnis masih berhasil ditemukan oleh penyelidik AS dan Inggris.
Saat ini, status Chen Zhi berubah drastis menjadi buronan internasional. Taipan muda yang pernah dielu-elukan sebagai simbol kebangkitan ekonomi Kamboja itu kini mungkin menjadi salah satu sosok paling dicari di Asia. Jaksa dengan jelas menggambarkan modus kejahatannya sebagai “penyembelihan babi”, sebuah istilah populer untuk penipuan investasi palsu yang menjebak korban agar menanamkan uangnya melalui media sosial dan aplikasi pesan.
Dalam modus tersebut, para korban diyakinkan bahwa dana mereka akan diinvestasikan pada peluang emas. Namun, pada kenyataannya, uang tersebut justru dicuri, dicuci, dan akhirnya digunakan untuk membiayai gaya hidup mewah para pelaku. Selain itu, jaksa juga mengungkap adanya dugaan perdagangan manusia di balik operasi tersebut. Ribuan orang dilaporkan dipaksa bekerja di kompleks-kompleks penipuan di Kamboja, yang digambarkan sebagai kamp kerja paksa penuh kekerasan dengan tembok tinggi dan kawat berduri.
Untuk mengamankan operasi haramnya, Chen dan para eksekutif Prince Group diduga menyuap pejabat publik serta memanfaatkan pengaruh politik mereka secara maksimal. Kini, setelah sanksi dijatuhkan, berbagai lembaga keuangan di Asia dan Eropa berusaha menjauh dari Prince Group. Bank Sentral Kamboja pun harus turun tangan meyakinkan nasabah bahwa dana mereka aman, sementara Korea Selatan secara resmi membekukan aset Prince senilai 64 juta dolar AS (sekitar Rp 1 triliun). Sayangnya, pemerintah Kamboja sejauh ini belum memberi tanggapan tegas, meski tekanan internasional terhadap mereka semakin meningkat.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com

