DEPOK, Desapenari.id – Demi menghentikan tuduhan yang terus berulang, UPT Pasar Kemiri Muka akhirnya angkat bicara! Unit Pelaksana Teknis ini secara resmi meminta Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Depok untuk mengambil alih pengelolaan sampah di tempat pembuangan sementara (TPS) pasar. Intinya, mereka ingin kontroversi dugaan pungutan liar (pungli) kepada warga yang selalu muncul saat sampah menumpuk di TPS Pasar Kemiri Muka bisa diputus sejak dari akarnya.
Tak tanggung-tanggung, Kepala UPT Pasar Kemiri Muka, Budi Setianto, langsung mengusulkan solusi formal. Ia menegaskan bahwa TPS pasar saat ini memang berfungsi ganda, yakni menampung sampah dari pedagang dan juga warga Kelurahan Kemiri Muka. “Pertama-tama, harus kita akui bahwa TPS itu jika memang digunakan selain untuk pedagang kami, atau bisa mengakomodir RT dan RW sekitar, maka sebaiknya kita buat MoU,” tegas Budi pada Kamis (4/12/2025). Menurutnya, MoU tersebut harus berisi penyerahan khusus wewenang pengelolaan TPS ke DLHK.
Lebih lanjut, Budi membeberkan bahwa solusi ini punya misi mulia. Selain mengklarifikasi tanggung jawab, langkah ini dapat memastikan aliran retribusi sampah yang dibayar warga akan masuk langsung ke kas daerah dengan transparan. Sementara itu, pengelola pasar bisa benar-benar fokus menjalankan tugas utama mereka sesuai Perda, yaitu menarik retribusi kebersihan sebesar Rp 3.500 per hari dari total 245 pedagang.
Budi pun dengan lantang membantah keterlibatannya dalam pungutan ke warga. Ia menyebut bahwa dari para pedagang, pihaknya hanya memperoleh uang sekitar Rp 820.000-850.000 per hari yang langsung ditransfer ke rekening kas daerah tanpa potongan. “Saya pastikan 100 persen, kami UPT pasar tidak berurusan sama sekali dengan retribusi pengangkutan sampah warga,” jelasnya dengan tegas. Namun, di sisi lain, ia justru memberikan sorotan kepada DLHK. Budi mengungkapkan bahwa penumpukan sampah yang sering menjadi sorotan bisa jadi disebabkan oleh jadwal pengangkutan DLHK yang minim dan tidak konsisten. “Sebenarnya, janji DLHK itu pengangkutan sampah sekitar tiga kali seminggu. Akan tetapi, faktanya kadang dalam satu minggu cuma dua kali, bahkan sekali,” terangnya.
Konflik ini sendiri sebenarnya sudah menyita perhatian pemkot. Sebelumnya, Pemerintah Kota Depok telah membuka penelusuran serius terkait dugaan pungli retribusi sampah di TPS Pasar Kemiri. Hebatnya, informasi awal justru datang langsung dari Wakil Wali Kota Depok, Chandra Rahmansyah, saat ia meninjau langsung gunungan sampah di lokasi pada Senin (17/11/2025).
Chandra tidak main-main dan langsung menginstruksikan pemeriksaan komprehensif. Ia meminta Lurah Kemiri Muka untuk segera menindaklanjuti dengan mengumpulkan pengurus RW guna berdiskusi. “Jadi, bagaimana sebenarnya sistem pembuangan sampah mereka? Bisa jadi dari level RW saja sudah ada pemungutan retribusi,” ucap Chandra di lokasi. Ia juga melontarkan pernyataan yang cukup menggigit. Chandra menegaskan bahwa TPS Pasar Kemiri sejatinya adalah milik swasta dan tanggung jawab pengelola pasar, sehingga seharusnya hanya menampung sampah pasar. “Lalu, retribusinya mengalir ke mana? Nah, itulah yang bisa kita katakan sebagai pungli jika memang ada, yaitu pungli di bidang sampah. Akibatnya ya seperti ini, sampah jadi tidak terkontrol,” tegasnya. “Selanjutnya, yang tidak bayar retribusi pun ikut-ikutan membuang sampahnya ke sini. Nah, ini yang akan kita cek dan kita dalami lebih jauh,” sambung Chandra penuh tekad.
Fakta di lapangan pun perlahan terkuak dan memperkuat dugaan. Berdasarkan data resmi Kelurahan Kemiri Muka, ternyata ada 1.155 Kartu Keluarga (KK) yang membuang sampah ke TPS Pasar Kemiri Muka. Yang lebih mengejutkan, data ini dikumpulkan dari warga enam RW berbeda, yaitu RW 15, RW 16, RW 6, RW 12, RW 7, dan RW 13. Artinya, keenam RW tersebut diketahui melakukan pembayaran retribusi dari warganya ke pengelola TPS khusus untuk kepentingan pengangkutan sampah.
Lalu, berapa besar pungutannya? Diperkirakan, penarikan uang dari warga untuk sampah dimulai dari Rp 25.000 per bulan, namun jumlah tersebut sudah termasuk biaya untuk keamanan lingkungan. Sayangnya, ketika dikonfirmasi, Lurah Kemiri Muka Bahrul Ulum justru mengaku tidak tahu detailnya. “Memang benar ada isu penarikan uang sampah ke TPS, tetapi saya tidak tahu persis berapa besarnya. Yang tahu pasti hanya UPT atau pengelola pasar itu sendiri,” ujar Bahrul pada Rabu (26/11/2025). Pernyataan ini tentu semakin mengukuhkan betapa rumit dan tidak transparannya alur pungutan yang terjadi di tingkat akar rumput.
Jadi, apa kesimpulannya? Permintaan pengalihan pengelolaan TPS oleh UPT Pasar Kemiri Muka ke DLHK bukan sekadar lempar tanggung jawab biasa. Ini adalah langkah strategis untuk memutus mata rantai dugaan pungli, mengembalikan sistem retribusi yang transparan ke kas daerah, dan sekaligus ‘memaksa’ DLHK untuk lebih disiplin dalam jadwal pengangkutan. Namun, pertanyaan besarnya tetap menganga: jika pengelolaan diambil alih DLHK, apakah warga enam RW itu nantinya akan dibebaskan dari pungutan tak resmi, atau justru akan ada skema retribusi resmi yang baru? Satu hal yang pasti, masalah sampah di Kemiri Muka telah membuka kotak pandora tentang tata kelola retribusi yang harus segera dibenahi oleh pemkot.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com

