Jakarta, desapenari.id – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) kini meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi pelanggaran hak kekayaan intelektual (KI) yang muncul seiring maraknya penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI). Arie Ardian, Direktur Penegakan Hukum DJKI, menegaskan bahwa salah satu pelanggaran paling berisiko adalah penggunaan karya berlisensi tanpa izin untuk melatih AI generatif.

“Bayangkan, ada pengembang AI yang mengambil ribuan bahkan jutaan karya digital—mulai dari teks, musik, gambar, hingga video—tanpa memedulikan lisensi atau hak pencipta. Ini jelas melanggar hak cipta, baik secara ekonomi maupun moral,” tegas Arie dalam keterangan tertulis, Senin (23/6/2025).
Tak hanya itu, Arie juga memperingatkan bahwa AI generatif berpotensi memicu masalah plagiarisme dan ketidakjelasan status hukum konten yang dihasilkan. “Ini adalah kerentanan hukum serius yang harus segera kita antisipasi,” tambahnya.
Baca juga KPK Tetapkan Tersangka Kasus Korupsi MPR, Siapa Pelakunya?
Pendekatan Baru: Risk Assessment & Kolaborasi Digital
Untuk mengatasi tantangan ini, DJKI mengembangkan pendekatan berbasis risk assessment guna memetakan potensi pelanggaran KI dalam ekosistem AI. Mereka tidak hanya memantau tren teknologi, tetapi juga berdiskusi dengan para ahli dan membandingkan kebijakan global. Tujuannya? Merumuskan regulasi yang lebih adaptif terhadap dinamika AI.
“Kita tidak bisa lagi mengandalkan cara konvensional. Di era AI, penegakan hukum harus digital, responsif, dan kolaboratif. Makanya, peningkatan kapasitas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan aparat hukum jadi prioritas,” papar Arie.
Saat ini, DJKI sedang menyusun roadmap strategis penegakan hukum KI berbasis teknologi. Langkahnya meliputi:
- Menambah jumlah dan kemampuan PPNS
- Menyusun pedoman teknis
- Mendigitalisasi sistem pelaporan dan pelacakan
- Memperkuat kerja sama lintas lembaga
Kolaborasi Lintas Institusi & Tantangan Kasus Transnasional
DJKI telah menjalin koordinasi dengan Kepolisian RI, Kejaksaan Tinggi, dan Kemenkominfo melalui forum khusus dan perjanjian teknis. Meski belum ada kasus resmi pelanggaran KI via AI hingga pertengahan 2025, DJKI sudah menerima laporan soal penggunaan karya digital tanpa izin dalam dataset AI.
“Kasus-kasus ini rumit karena bersifat transnasional, sulit dilacak, dan penuh tantangan pembuktian. Tapi, kami tidak diam saja. Kami memperkuat deteksi dini, menyiapkan panduan hukum, dan mendorong pembaruan regulasi,” jelas Arie.
AI Bukan Hanya Masalah, Tapi Juga Solusi
Menariknya, DJKI tidak hanya melihat AI sebagai ancaman, tetapi juga sebagai alat penegakan hukum. Saat ini, mereka merancang sistem pemantauan dan deteksi dini pelanggaran KI berbasis AI. Rencana ini masih tahap awal, tetapi akan melibatkan kolaborasi dengan pemerintah, swasta, akademisi, dan komunitas teknologi.
“Kami akan manfaatkan AI sebagai alat penegakan hukum, bukan sekadar tantangan. Tapi, ini butuh infrastruktur digital dan kerja sama lintas disiplin yang kuat,” ungkap Arie.
Penguatan Regulasi & Etika Inovasi
Untuk memperkuat landasan hukum, DJKI sedang mengkaji UU Hak Cipta dan menyusun pedoman teknis penggunaan karya cipta dalam pengembangan AI. Mereka juga aktif di forum internasional seperti WIPO dan bekerja sama dengan otoritas KI di Jepang, Singapura, dan AS.
Di akhir pernyataannya, Arie mengajak semua pihak bermain fair:
“Kami mengimbau pengembang dan pengguna AI untuk menjunjung tinggi etika inovasi. Gunakan materi legal, hormati hak cipta, dan jadilah bagian dari ekosistem digital yang adil dan berkelanjutan.”
Dengan langkah proaktif ini, DJKI berkomitmen melindungi hak kreator sekaligus memastikan inovasi AI berkembang secara bertanggung jawab. So, siapkah kita menghadapi era baru penegakan hukum digital? 🚀