Desapenari.id – Dalam sebuah keputusan yang mengguncang, Pengadilan Tipikor akhirnya menjatuhkan vonis berat kepada Antonius NS Kosasih, mantan Direktur Utama PT Taspen. Hakim ketua Purwanto S Abdullah dengan tegas memvonisnya 10 tahun penjara! Tidak hanya itu, ia juga harus membayar denda fantastis sebesar Rp 500 juta. Seandainya denda itu tidak ia bayar, maka ia harus rela menjalani kurungan penjara tambahan selama 6 bulan. Vonis ini pun langsung menjadi buah bibir masyarakat pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/10/2025) lalu.
Selain harus menghirup udara penjara selama satu dekade, pengadilan juga memaksa Kosasih untuk mengembalikan uang negara yang ia korupsi. Hakim memerintahkannya membayar uang pengganti senilai Rp 29,152 miliar ditambah dengan mata uang asing dari berbagai negara, seperti 127.057 Dollar AS, 283.002 Dollar Singapura, hingga 1,262 juta Won Korea dan sejumlah mata uang lainnya. Seluruh harta bendanya akan disita negara untuk dilelang jika dalam waktu satu bulan setelah vonis tetap, ia gagal melunasi seluruh uang pengganti tersebut. Hakim Purwanto menegaskan, “Dan, dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama tiga tahun.”
Sementara itu, rekan sepermainan Kosasih dalam kasus ini juga tidak luput dari hukuman. Ekiawan Heri Primaryanto, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Insight Investment Management (PT IIM), turut merasakan dinginnya lantai penjara selama 9 tahun. Hakim yang sama juga menjatuhkan denda yang setara, yakni Rp 500 juta, dengan ancaman subsider 6 bulan penjara. Sebagai konsekuensi perbuatannya, Eki juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar 253.660 USD. Jika uang ini tidak ia bayar, maka ia harus menanggung hukuman penjara tambahan selama 2 tahun.
Lantas, apa pertimbangan hakim sehingga menghukum kedua tersangka dengan begitu berat? Ternyata, majelis hakim dengan yakin menyimpulkan bahwa perbuatan Kosasih dan Ekiawan telah memenuhi seluruh unsur melawan hukum. Mereka melihat tindakan keduanya bukanlah kesalahan biasa, melainkan sebuah skema yang direncanakan dengan sengaja. Sebagai contoh, Kosasih dengan semena-mena menunjuk langsung PT IIM sebagai pengelola investasi reksadana I-Next G2. Padahal, seharusnya proses penunjukan ini dilakukan melalui mekanisme tender yang transparan untuk menghindari kolusi.
Tidak berhenti di situ, proses jual-beli aset PT Taspen yang melibatkan sukuk ijarah SIAISA02 dan investasi dana Rp 1 triliun juga dinilai sangat ceroboh. Hakim menilai Kosasih dan Eki sama sekali tidak melakukan kajian mendalam sebelum memutuskan untuk mengalirkan dana raksasa itu melalui broker PT IIM, KB Valbury Sekuritas Indonesia. Keputusan Kosasih untuk membeli reksadana yang berisiko tinggi itu terlihat sangat tergesa-gesa dan penuh dengan ketidakwajaran. Alhasil, langkah ini jelas-jelas merugikan keuangan negara.
Hakim Anggota Sunoto bahkan dengan tegas menyindir tindakan Kosasih dari sidangnya. Beliau menegaskan, “Seharusnya terdakwa memilih opsi yang paling aman, yaitu mengikuti proposal perdamaian yang sudah dijamin pengadilan, bukan malah menciptakan risiko baru melalui reksadana yang tidak jelas prospeknya.” Pernyataan ini semakin mengukuhkan bahwa Kosasih sama sekali tidak memiliki itikad baik untuk melindungi uang negara. Justru, ia sengaja mengambil jalur berbahaya yang penuh dengan ketidakpastian.
Akibat ulah kedua tersangka ini, negara harus menanggung kerugian finansial yang sangat besar, mencapai Rp 1 triliun! Untuk menutupi niat jahat mereka, mereka pun merancang modus operandi yang sangat kompleks dan berlapis-lapis. Skema rumit ini sengaja mereka buat untuk mengelabui pihak berwajib dan menyamarkan jejak kejahatan korupsi mereka. Namun, pada akhirnya, semuanya terbongkar juga dan mereka harus berhadapan dengan jeruji besi.
Yang paling menyedihkan, tindakan mereka tidak hanya merugikan negara secara materiil, tetapi juga melukai hati jutaan rakyat kecil. Kepercayaan publik, terutama dari para pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN), hancur berantakan. Padahal, setiap bulan, gaji mereka dengan setia dipotong untuk membayar dana pensiun yang seharusnya menjadi tabungan hari tua. Hakim dengan prihatin menilai perbuatan terdakwa telah melukai perasaan 4,8 juta pensiunan ASN yang terdaftar sebagai penerima manfaat Taspen.
Para lansia yang seharusnya menikmati masa tua dengan tenang itu justru harus menerima kenyataan pahit bahwa dana mereka telah disalahgunakan oleh orang yang seharusnya melindunginya. Dana pensiun yang seharusnya menjadi penyambung hidup di masa senja, malah dikorupsi untuk kepentingan segelintir orang. Akhirnya, kedua terdakwa pun dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Tipikor beserta seluruh perubahannya. Vonis ini menjadi pelajaran berharga bahwa keadilan pasti akan datang bagi siapa pun yang berani main-main dengan uang rakyat.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com