Desapenari.id – Tahukah kamu, di balik tampilannya yang sederhana, kayu ternyata menyimpan struktur yang sangat kompleks. Lebih detailnya, setiap batang pohon sebenarnya terdiri dari serat selulosa panjang, gula pembantu yang bernama hemiselulosa, serta lignin—zat pengikat berwarna cokelat yang berperan sebagai perekat super kuat. Kombinasi ketiganya memungkinkan pohon tumbuh menjulang tinggi dan tetap kokoh meskipun diterpa angin kencang maupun cuaca ekstrem.
Namun, di sisi lain, komposisi alami ini justru menyulitkan kayu untuk diolah menjadi panel atau balok berkinerja tinggi. Selama ini, industri kayu biasanya harus menghilangkan sebagian lignin menggunakan bahan kimia keras dan panas, sebelum akhirnya memadatkan kayu menjadi material yang lebih padat dan kuat. Sayangnya, proses ini tidak hanya menguras energi dan biaya, tetapi juga menghasilkan limbah yang berbahaya.
Padahal, sebenarnya kayu rekayasa telah lama digadang-gadang sebagai alternatif ramah lingkungan untuk menggantikan baja dan beton dalam konstruksi. Alasannya, material ini lebih ringan, namun tetap mampu menahan beban berat setelah melalui proses pemadatan. Oleh karena itu, kita sangat membutuhkan metode produksi yang lebih bersih dan berkelanjutan dari hulu hingga hilir.
Melalui sebuah terobosan baru, tim peneliti dari University of Maryland akhirnya mencoba pendekatan yang berbeda. Daripada memodifikasi kayu setelah panen, mereka justru melakukan rekayasa genetika sejak pohon masih tumbuh. Studi terbaru mereka yang dipublikasikan dalam jurnal Matter pada 2 Oktober 2024 pun langsung menarik perhatian dunia.
Dalam penelitian tersebut, mereka memilih pohon poplar sebagai objek utama karena jenis ini terkenal cepat tumbuh dan sering digunakan dalam industri. Dengan memanfaatkan teknik penyuntingan gen presisi yang disebut base editing, para ilmuwan menargetkan gen 4CL1 yang berperan dalam produksi lignin. Mereka berhasil menonaktifkan gen tersebut sehingga pohon menghasilkan lebih sedikit lignin, tanpa mengganggu pertumbuhan normalnya.
Yang menarik, alat penyunting basa yang mereka gunakan tidak memotong genom, melainkan hanya menukar satu huruf DNA dengan huruf lainnya. Hasilnya sungguh menakjubkan: pohon poplar modifikasi ini memiliki kadar lignin sekitar seperdelapan lebih rendah dibandingkan dengan pohon normal.
Setelah itu, kayu hasil modifikasi hanya perlu dipadatkan menggunakan air, panas, dan tekanan—tanpa bahan kimia berbahaya. Proses ini berhasil membuat serat selulosa menjadi lebih rapat dan meningkatkan kekuatan mekanis kayu secara signifikan.
Berdasarkan pengujian yang dilakukan, kayu super dari poplar hasil modifikasi gen ini memiliki kekuatan yang setara dengan kayu olahan metode konvensional, namun tanpa menghasilkan limbah beracun. Selain itu, pertumbuhan tanaman tetap sehat di lingkungan rumah kaca, membuka peluang besar untuk penerapan skala industri.
Para peneliti juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan—mengurangi lignin secukupnya agar mudah diolah, tetapi tidak sampai melemahkan ketahanan pohon terhadap hama dan cuaca.
Tidak berhenti di situ, kayu super ini juga disebut-sebut dapat menjadi solusi dalam menghadapi perubahan iklim. Seperti yang kita tahu, bangunan modern menjadi penyumbang utama emisi karbon global akibat penggunaan baja dan beton. Nah, kayu rekayasa justru berpotensi memangkas jejak karbon dengan menyimpan karbon dioksida selama puluhan tahun.
Apalagi, dengan proses produksi yang lebih bersih, siklus penyerapan karbon bisa semakin efisien. “Penyerapan karbon sangat penting dalam upaya kita melawan perubahan iklim, dan kayu rekayasa semacam ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan dalam bioekonomi masa depan,” ujar Profesor Yiping Qi dari University of Maryland yang memimpin riset ini.
Meski hasil dalam rumah kaca terlihat sangat menjanjikan, tantangan sesungguhnya justru terletak pada uji lapangan di hutan terbuka. Di sanalah angin, hama, dan perubahan musim akan menguji kekuatan kayu super secara alami. Saat ini, uji lapangan jangka panjang sedang direncanakan, termasuk pada spesies lain seperti pinus, cemara, dan eukaliptus yang juga mendominasi pasar kayu.
Regulasi juga akan menjadi faktor penentu. Karena pohon hasil modifikasi genetik ini tidak membawa gen asing baru, banyak regulator memperlakukannya berbeda dari GMO klasik. Namun, mengingat siklus hidup pohon yang panjang, pengawasan ketat tetap diperlukan sebelum komersialisasi dilakukan.
Studi ini jelas menjadi langkah maju yang penting. Perubahan genetik kecil ternyata mampu menciptakan “kayu super” yang kuat, andal, mampu menyimpan karbon, serta mengurangi polusi dari proses produksi. Jika riset lanjutan dan kebijakan pendukungnya terus berjalan, bukan tidak mungkin hutan cerdas di masa depan akan memasok pabrik yang lebih bersih dan bahan bangunan rendah karbon—sekali lagi membuktikan bahwa inovasi sains dapat memperkuat ambisi dunia dalam menghadapi krisis iklim.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com