Moskow (Desapenari.id) – Krisis kemanusiaan di Gaza semakin mengerikan. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan, korban tewas akibat kelaparan dan malnutrisi terus bertambah. Hingga Sabtu (9/8), angka kematian telah mencapai 212 orang, dengan hampir separuhnya—98 jiwa—adalah anak-anak.
Kematian Meningkat Drastis dalam 24 Jam Terakhir
Menurut pernyataan resmi Kemenkes Gaza, dalam sehari saja, rumah sakit di Jalur Gaza mencatat 11 kasus kematian baru akibat kelaparan. “Kondisi ini memperburuk total korban menjadi 212 jiwa, termasuk 98 anak-anak yang seharusnya masih bermain dan tertawa,” tegas mereka.
Data menunjukkan, sejak awal 2025, kelaparan telah merenggut 158 nyawa. Sementara pada 2024, tercatat 50 kematian, dan empat orang meninggal pada 2023. Angka-angka ini membuktikan, krisis pangan di Gaza semakin tak terkendali.
Volker Turk, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, tak tinggal diam. Pada Senin (4/8), ia menyatakan, pembatasan bantuan makanan oleh Israel terhadap warga Gaza bisa digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. “Pemandangan orang-orang kelaparan di Gaza menyayat hati dan tak tertahankan,” ujarnya dengan nada prihatin.
Turk menegaskan, Israel masih membatasi bantuan kemanusiaan yang masuk. Padahal, kebutuhan di Gaza jauh lebih besar dari pasokan yang diizinkan. “Rakyat Gaza butuh makanan, obat-obatan, dan listrik sekarang juga, bukan besok,” tambahnya.
Krisis ini berawal dari serangan besar-besaran Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023. Kala itu, ratusan roket menghujani Israel, diikuti penyusupan militan Hamas yang menyerang warga sipil dan militer. Mereka juga menyandera lebih dari 200 orang.
kunjungi laman berita terbaru di Exposenews.id
Pihak Israel mengklaim, serangan tersebut menewaskan 1.200 warganya. Sebagai balasan, Israel melancarkan Operasi Pedang Besi. Mereka tidak hanya menyerang target militer, tetapi juga memblokade Gaza sepenuhnya. Listrik, air, bahan bakar, makanan, dan obat-obatan sengaja diputus.
Blokade Israel membuat Gaza bagai penjara raksasa. Warga sipil, terutama anak-anak dan lansia, paling menderita. Rumah sakit kekurangan obat, pasar kosong, dan keluarga-keluarga terpaksa makan sekali sehari—jika ada.
Organisasi kemanusiaan dunia berteriak, meminta Israel membuka akses bantuan. Namun, hingga kini, Gaza masih terisolasi. Setiap hari, nyawa melayang bukan karena bom, tapi karena lapar.
Dari 212 korban tewas, 98 adalah anak-anak. Mereka seharusnya menjadi generasi penerus, tetapi malah menjadi korban kebijakan yang kejam. “Anak-anak Gaza tidak seharusnya mati perlahan karena kurang gizi,” protes seorang relawan medis.
baca juga: Truk Bantuan Kemanusiaan Akhirnya Masuk Gaza
Laporan UNICEF menyebut, ribuan anak di Gaza mengalami stunting dan gizi buruk. Tanpa intervensi segera, angka kematian anak bisa melonjak lebih tinggi.
Dunia internasional terus mendesak gencatan senjata dan pembukaan akses bantuan. Namun, Israel bersikukuh dengan kebijakannya. Sementara Hamas juga belum menunjukkan tanda-tanda menyerah.
Di tengah kebuntuan politik, rakyat Gaza yang tak bersalah terus menderita. Jika blokade tidak segera dicabut, korban kelaparan akan terus berjatuhan.
Krisis Gaza bukan sekadar konflik politik, tapi juga ujian bagi moral dunia. Setiap nyawa yang hilang akibat kelaparan adalah kegagalan bersama. Sudah waktunya semua pihak berhenti berdebat dan bertindak. Karena di Gaza, setiap detik, seseorang bisa kehilangan nyawa—hanya karena tidak mendapat sesuap nasi.