PALANGKA RAYA, Desapenari.id – Pemerintah Pusat hingga detik ini masih menunggak pembayaran dana bagi hasil (DBH) tambang sektor mineral dan batu bara kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng) yang nilainya mencapai setengah triliun lebih, tepatnya Rp 625 miliar, untuk tahun anggaran 2023. Yang membuat situasi semakin runyam, utang senilai fantastis ini bukan hanya berasal dari DBH minerba, namun juga merangkum beberapa pos alokasi anggaran vital lainnya, seperti bagian dari minyak dan gas (migas) serta dana reboisasi yang seharusnya mengalir ke kas daerah.
Menanggapi hal ini, Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kalteng, Syahfiri, akhirnya angkat bicara dan membenarkan adanya tunggakan tersebut. Meski demikian, Syahfiri menjelaskan bahwa pemerintah pusat sebenarnya sudah mulai melakukan pembayaran secara cicil. Sebagai contoh, pembayaran terakhir yang berhasil dicatat oleh Pemprov Kalteng terjadi pada Juli 2025 lalu dengan nilai Rp 269 miliar. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar dana, yaitu sisanya, masih belum juga cair ke kas daerah. “Dari total Rp 625 miliar itu, memang kami akui sudah ada bagian yang dibayarkan. Sayangnya, sisanya masih tertahan. Pemerintah pusat sendiri menyatakan akan membayar secara bertahap,” papar Syahfiri saat berdiskusi dengan awak media di Kantor DPRD Kalteng, Palangka Raya, pada Senin (22/9/2025).
Lantas, apa dampak nyata dari keterlambatan ini? Syahfiri dengan tegas menyatakan bahwa tunggakan ini langsung menghantam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kalteng tahun 2025. Bayangkan saja, nilai pengurangan pendapatan ini setara dengan delapan persen dari total APBD Kalteng tahun ini yang telah direncanakan sebesar Rp 8,5 triliun. Dampaknya sangat signifikan karena dana sebesar itu sudah diperhitungkan sebagai asumsi pendapatan yang pasti. “Jelas sekali ini berdampak. Bagaimanapun juga, anggaran sebesar Rp 625 miliar itu sudah kami anggap sebagai pendapatan dalam perencanaan APBD. Faktanya, utang tersebut mencakup sekitar 8% dari total APBD kita tahun 2025, sehingga secara otomatis kondisi keuangan daerah kita terkena imbasnya,” tegas Syahfiri dengan nada prihatin.
Yang patut dicatat, Syahfiri menegaskan bahwa persoalan pelik ini bukan hanya monopoli Kalteng. Menurut informasi yang berhasil dihimpunnya, keterlambatan pembayaran DBH oleh pemerintah pusat juga dialami oleh provinsi-provinsi tetangga yang sama-sama kaya akan sumber daya alam, seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Artinya, ini adalah masalah sistemik yang membutuhkan solusi terpadu. Di sisi lain, pihak Pemprov Kalteng mengklaim tidak tinggal diam. Mereka telah aktif menagih utang tersebut agar segera dilunasi. “Namun begitu, kami menyadari bahwa ini adalah ranah kebijakan nasional. Kami sudah menyurati pemerintah pusat berulang kali. Akan tetapi, kebijakan dari pusat tidak bisa ditentukan berdasarkan tuntutan masing-masing daerah secara parsial, karena keputusan akhir harus mempertimbangkan kondisi keseluruhan Indonesia,” jelas Syahfiri, memberikan gambaran tentang kompleksitas koordinasi antara pusat dan daerah.
Secara keseluruhan, situasi ini menyisakan tanda tanya besar tentang konsistensi dan kepastian pendapatan daerah, khususnya bagi daerah penghasil sumber daya alam yang menjadi tulang punggung negara. Dana yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan program-program pemberdayaan masyarakat kini terhambat. Masyarakat Kalteng pun tentu berharap agar pemerintah pusat segera menuntaskan kewajibannya agar roda pembangunan di daerah dapat kembali berputar sesuai dengan yang direncanakan. Pada akhirnya, kelancaran transfer dana perimbangan seperti DBH ini merupakan cerminan dari komitmen pemerintah pusat dalam mendukung otonomi daerah dan keadilan fiskal.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com