BANDUNG BARAT, Desapenari.id – Fenomena jatuhnya bongkahan batu atau rockfall di kawasan Gunung Batu, Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat, sama sekali bukan peristiwa kebetulan yang tiba-tiba terjadi. Sebaliknya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan tegas memastikan bahwa akumulasi pergerakan Sesar Lembang yang secara diam-diam membentang di bawah kawasan tersebut telah menjadi dalang utama di balik menurunnya stabilitas batuan di lereng gunung ikonik itu. Dengan kata lain, patahan aktif ini terus-menerus “menggerogoti” kekuatan batuan dari waktu ke waktu, sehingga membuat kawasan ini semakin rentan.
Struktur Batuan Gunung Batu Sudah Retak Alami
Selanjutnya, mari kita telusuri kondisi batuan di lokasi kejadian. Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Edi Hidayat, dengan gamblang menjelaskan bahwa batuan di Gunung Batu ternyata tidak seluruhnya padat dan menyatu seperti yang banyak dibayangkan. Faktanya, di antara lapisan batuan tersebut, telah lama bersembunyi rekahan-rekahan alami yang secara perlahan namun pasti membuat struktur batu menjadi rapuh dan mudah goyah. “Coba Anda perhatikan Gunung Batu itu, dia secara visual sudah memperlihatkan pecahan-pecahannya. Jadi, batuan penyusunnya sudah tidak masif lagi, melainkan dipenuhi oleh rekahan atau pecahan-pecahan alami. Oleh karena itu, getaran gempa bumi, walaupun kecil, secara tidak langsung dapat memperlebar rekahan yang sudah ada itu,” papar Edi di Bandung Barat, Selasa (11/11/2025). Ia kemudian melanjutkan, “Walaupun peristiwa rockfall yang baru terjadi ini bukan langsung dipicu gempa, namun kita harus paham bahwa rekahan tadi telah menjadi jalur masuk yang sempurna bagi air hujan, yang pada akhirnya memicu proses pelapukan,” imbuhnya, menekankan hubungan sebab-akibat yang berantai ini.
Peran Air Hujan dan Proses Pelapukan: Sang Pelaku Utama
Lalu, bagaimana persisnya proses keruntuhan ini bisa terjadi? Menurut Edi, air hujan memainkan peran sebagai aktor kunci yang mempercepat bencana. Bayangkan, air hujan dengan mudahnya meresap dan menggenangi setiap celah batu yang terbuka, sehingga secara agresif mempercepat proses pelapukan batuan dari dalam. Seiring berjalannya waktu, tekanan hidrostatik dan proses pelapukan ini terus menumpuk di dalam batuan. Akibatnya, tekanan dari dalam batuan yang telah lapuk tersebut akhirnya mencapai titik kritis dan memicu sebagian struktur lereng runtuh serta menimbulkan fenomena rockfall spektakuler, seperti yang masyarakat saksikan pada Sabtu (8/11/2025). Meski demikian, Edi dengan tegas menegaskan sebuah poin penting: peristiwa rockfall tersebut sama sekali tidak dipicu oleh aktivitas gempa bumi atau pergerakan mendadak Sesar Lembang pada saat itu.
BMKG Tidak Mendeteksi Aktivitas Gempa: Menguatkan Teori Pelapukan
Kemudian, sebagai bukti pendukung yang kuat, kita dapat merujuk pada hasil pemantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Berdasarkan data seismograf yang mereka miliki, tidak terdeteksi sedikitpun aktivitas seismik atau guncangan gempa di sekitar lokasi kejadian rockfall. “Jadi, harus dipahami bahwa rockfall yang terjadi beberapa hari lalu memang bukan akibat langsung dari getaran gempa, karena peralatan BMKG pun sama sekali tidak mencatat adanya aktivitas gempa di sana,” tegas Edi, menyempurnakan analisisnya. Dengan demikian, teori pelapukan oleh air hujan yang diperparah oleh retakan tua semakin mendapatkan pijakan yang kuat.
Kolaborasi dan Kewaspadaan Berkelanjutan di Atas Patahan Aktif
Selain itu, Edi juga menekankan pentingnya pendekatan kolaboratif ke depan. Ia menambahkan, kajian mendalam dan pemeriksaan rutin terhadap kondisi batuan di kawasan Gunung Batu harus secara konsisten dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan secara bersama-sama. Langkah strategis ini menjadi sangat krusial mengingat posisi Gunung Batu yang secara geologis tepat berada di atas garis patahan aktif Sesar Lembang yang terus bergerak, meskipun dengan kecepatan yang sangat perlahan. Pergerakan akumulatif inilah yang tidak boleh kita anggap remeh. “Kesimpulannya, pergerakan Sesar Lembang yang terus berlangsung itulah yang menyebabkan batuan retak secara akumulatif. Bayangkan, batuan yang sudah pecah, kemudian terus-menerus digetarkan oleh aktivitas sesar (meski kecil), bisa membuat rekahan itu merenggang. Celah yang melebar itu kemudian dibanjiri air hujan yang mempercepat pelapukan. Nah, kombinasi mematikan inilah yang biasanya menjadi penyebab utama rockfall,” tandasnya mengakhiri penjelasan, menyoroti proses geologis kompleks yang berujung pada peristiwa dramatis di Gunung Batu.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com

