New York (desapenari.id) – Bagi banyak warga Amerika, hari belum benar-benar dimulai tanpa menyeruput secangkir kopi. Namun, gelombang tarif baru untuk impor kopi berpotensi mengubah ritual harian yang menyenangkan ini menjadi kegiatan yang jauh lebih mahal.
Badan Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS) AS melaporkan bahwa harga kopi di Amerika Serikat sudah melonjak 14,5 persen pada Juli 2025 dibandingkan tahun sebelumnya. Akibatnya, harga eceran rata-rata untuk satu pon kopi bubuk sekarang mencapai 8,41 dolar AS.

Kenaikan harga ini justru terjadi sebelum AS memberlakukan tarif impor sebesar 50 persen pada kopi dari Brasil, produsen kopi utama dunia, yang dimulai lebih awal pada bulan ini. Kebijakan ini berisiko mendongkrak harga kopi ke level yang lebih tinggi lagi.

“Tarif 50 persen tidak hanya berdampak pada kami, tetapi kemungkinan besar akan memusnahkan semua aliran kopi Brasil yang masuk ke AS. Langkah ini sama sekali tidak berkelanjutan,” jelas Dan Hunnewell, salah satu pendiri Coffee Bros, sebuah perusahaan penyangrai kopi asal New York.
Kedua saudara pendiri perusahaan itu pun melayangkan petisi daring yang mendesak adanya pengecualian khusus untuk kopi. Mereka berargumen bahwa kebijakan baru ini justru mencekik perdagangan global. Meski tarif dirancang untuk mendongkrak produksi dalam negeri, petisi mereka menegaskan bahwa kopi tidak mungkin diproduksi secara massal di AS.
kunjungi juga laman gadget teknologi di Newtechclub.com
“Anda tidak bisa memindahkan perkebunan kopi dari satu negara ke negara lain. Faktanya, Anda juga tidak bisa menanam cukup kopi di AS. Hawaii dan Puerto Riko bersama-sama hanya menghasilkan kurang dari 1 persen dari total konsumsi nasional. Mustahil memenuhi 99 persen sisanya,” tegas Hunnewell.
AS diketahui mengonsumsi lebih dari 1,36 miliar kg kopi setiap tahun, yang menjadikannya pasar kopi terbesar di dunia. Dampak kenaikan tarif ini terasa di seluruh lini industri, mulai dari raksasa kopi global hingga usaha kecil dan menengah (UKM).
“Serangan tarif menghantam kami dari berbagai sisi,” keluh Hunnewell. Walaupun Coffee Bros tidak mengimpor biji kopi dari Tiongkok, perusahaan ini justru bergantung pada pemasok kemasan dari sana, dan harganya sudah melambung tinggi.
“Harga tidak hanya naik untuk kemasannya saja, tetapi pengiriman dari Tiongkok juga menjadi lebih mahal dan memakan waktu lebih lama,” tambahnya.
Sayangnya, alternatif produksi di dalam negeri sangat terbatas. “Anda tidak bisa mendapatkan kualitas yang setara di AS seperti yang bisa Anda dapatkan dari Tiongkok. Bahkan, perusahaan lokal yang membuat kantong untuk menyimpan kopi sangrai kami pun sebenarnya mendapatkan semua bahan bakunya dari Tiongkok,” papar Hunnewell.
“Jadi, bagaimanapun caranya, jika Anda memesan kantong kopi dari perusahaan lokal, semua bahan mentah seperti kertas dan lapisan foilnya tetap berasal dari Tiongkok. Pada akhirnya, Anda akan terkena dampak tarif juga,” imbuhnya.
Tidak hanya UKM, peritel kopi besar juga ikut bergulat dengan dampaknya. Menurut analis TD Cowen, Andrew Charles, Starbucks diperkirakan akan menanggung kenaikan biaya tahunan sekitar 3,5 persen untuk divisi biji kopi kemasan dan minuman siap saji.
Yahoo Finance melaporkan bahwa Starbucks sebenarnya telah mengindikasikan akan membekukan harga hingga tahun fiskal 2025. Meski demikian, CEO Brian Niccol tidak menutup kemungkinan adanya penyesuaian harga di masa depan.
Produsen makanan dan minuman AS, J.M. Smucker, yang membawahi merek kopi populer seperti Folgers dan Cafe Bustelo, telah beberapa kali menaikkan harga sejak Oktober 2024. Perusahaan bahkan berencana melakukan kenaikan keempat kalinya tahun ini, dengan alasan meningkatnya biaya kopi hijau (green coffee) serta tarif impor dari Brasil dan Vietnam.
“Area yang paling terpukul oleh tarif terutama adalah bahan baku langsung. Dan di dalamnya, komponen terbesarnya adalah kopi hijau, yang kami anggap sebagai sumber daya alam yang tidak tersedia di AS. Karena itulah, kami mengimpornya dari Brasil dan Vietnam, selain dari negara lain,” ungkap Tucker Marshall, Direktur Keuangan J.M. Smucker, dalam konferensi pendapatan perusahaan Juni lalu.
Para pakar industri mengingatkan, meski tarif untuk kopi Brasil berpotensi memicu kenaikan harga, tantangan terberat bagi perusahaan kopi AS justru adalah menjaga konsistensi cita rasa.
Pada dasarnya, kopi diracik khusus untuk memenuhi profil rasa tertentu yang diharapkan konsumen. Oleh karena itu, perubahan kecil sekalipun dapat memengaruhi kepuasan pelanggan.
Michael J. Nugent, Presiden MJ Nugent & Co., sebuah firma manajemen risiko berjangka, menyatakan bahwa jika kopi Brasil menjadi kurang tersedia akibat tarif, pasar pada akhirnya akan mencari alternatif pengganti. Namun, menemukan pengganti yang tepat sangatlah sulit dan penuh risiko.
Konsumen sudah sangat terbiasa dengan merek dan cita rasa tertentu, sehingga perubahan kecil dalam campuran atau rasa berpotensi menyebabkan hilangnya pelanggan, tambahnya.
Walaupun memahami motivasi pemerintah memberlakukan tarif, Hunnewell menilai langkah ini diambil terlalu terburu-buru dan tanpa pemahaman mendalam atas kompleksitas setiap bisnis yang terdampak.
“Kopi, cokelat, teh—puluhan ribu bisnis terkena imbas tarif, dan usaha-usaha kecil ini sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk memindahkan operasional mereka kembali ke AS,” tutup Hunnewell.