YOGYAKARTA, Desapenari.id – Staf Kadensus Bidang Literasi dan Media, Khoirul Anam, mengungkap fakta mengejutkan: Indonesia nyaris jatuh ke tangan Jemaah Islamiyah (JI) saat transisi dari Orde Baru ke Reformasi pada 1998. Ia membeberkan hal ini dalam kuliah umum dan bedah buku “JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah” di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, Rabu (4/6/2025).
Anam, yang juga editor buku tersebut, menjelaskan bahwa akar JI bermula dari gerakan Darul Islam Indonesia (DII). Pendirinya, M. Nashir, ternyata juga merupakan sosok di balik Pesantren Ngruki di Jawa Tengah. Namun, yang paling mencengangkan adalah momen kritis tahun 1998, saat Al Qaeda menawarkan bantuan besar-besaran kepada JI untuk menguasai Indonesia.
Al Qaeda Siapkan Pasukan dan Dana
“Tahun 1998, Indonesia sedang mengalami transisi besar dari Orde Baru ke Reformasi. Di tengah kekacauan itu, Al Qaeda justru menawarkan JI untuk merebut kendali negara,” ungkap Anam. Ia menambahkan, saat itu Al Qaeda sudah menyiapkan 6.000 pasukan terlatih plus persenjataan lengkap.
“Sebagian pasukan bahkan sudah menyusup masuk ke Indonesia, sementara lainnya menunggu di perbatasan. Tidak hanya itu, mereka juga menyediakan dana besar untuk mendirikan negara Islam di sini,” tegasnya.
Namun, tawaran menggiurkan itu akhirnya ditolak. Anam menceritakan, Abu Fatih, salah satu tokoh JI, sempat berkeliling ke Sulawesi untuk meminta pendapat para tetua. Hasilnya bulat: “Keputusannya tidak, Indonesia tidak boleh jadi negara Islam.”
Alasan JI Bubar dan Kembali ke NKRI
Sementara itu, Ustad Para Wijayanto, mantan Amir terakhir JI, memaparkan alasan kelompoknya memilih bubar dan kembali ke pangkuan NKRI. Dalam acara yang sama, ia menyebut setidaknya ada empat masalah utama yang mendorong keputusan tersebut.
Pertama, sikap ekstrem JI yang gemar mengkafirkan sesama Muslim. Para menjelaskan, paham ini muncul setelah mereka terpengaruh kitab “Al Jami Fi Thalabil Ilmi Syarif” karya Abdul Kadir bin Abdul Aziz, yang memperkenalkan konsep thaghut secara keras.
“Begitu seseorang dikafirkan, berarti darah, harta, dan kehormatannya dihalalkan. Inilah yang memicu banyak masalah,” ujarnya.
Kedua, metode Pareto membuktikan bahwa oknum JI menciptakan 80% masalah. Para menggunakan pendekatan ini untuk menganalisis kesalahan kelompoknya. “Yang bermasalah hanya 20% anggota, tapi dampaknya 80% merusak nama JI,” jelasnya.
Ketiga, kekeliruan dalam mengambil sikap. JI sering kali bersikap berlebihan, bahkan terhadap Muslim di luar kelompoknya. Hal ini menimbulkan perpecahan dan ketegangan di masyarakat.
Keempat, kesadaran untuk kembali ke jalan negara. Setelah mengevaluasi ulang, JI menyadari bahwa perjuangan mereka justru merugikan bangsa. Akhirnya, mereka memutuskan membubarkan diri dan mendukung NKRI.
Kisah JI ini menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Di satu sisi, ancaman disintegrasi pernah sangat nyata. Di sisi lain, keputusan JI untuk menolak tawaran Al Qaeda dan kembali ke NKRI menunjukkan bahwa persatuan Indonesia tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Anam menegaskan, literasi sejarah seperti ini penting agar generasi muda tidak mudah terpengaruh narasi radikal. “Kita harus paham, Indonesia dibangun dengan keberagaman, bukan dengan paksaan,” tandasnya.
Sementara itu, Para berharap pengalaman JI bisa menjadi cermin bagi kelompok lain. “Kembali ke NKRI adalah pilihan terbaik. Kita tidak perlu memaksakan ideologi, karena Indonesia sudah final sebagai negara kesatuan,” pungkasnya.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa stabilitas negara tidak boleh dianggap remeh. Transisi 1998 bisa menjadi pintu masuk kekacauan, tetapi kebijaksanaan para tokoh saat itu menyelamatkan Indonesia. Kini, tugas kita bersama adalah menjaga persatuan agar sejarah kelam tidak terulang.
Makasih tips sabar main di omega89, jadi tahan banting