Desapenari.id — Fenomena Kelangkaan Tenaga Kerja Pertanian di Tengah Tingginya Pengangguran. Saat musim tanam kedua (MT 2) akhir April 2025, saya terpaksa menanam ulang karena gagal panen. Namun, mencari bibit baru dan tenaga kerja dadakan ternyata sangat sulit. Meski begitu, kami berusaha sekuat tenaga—mengambil sisa bibit dari petani lain dan menyuruh pekerja tetap mencari padi polibag di Ngawi. Intinya, kami berjuang untuk memenuhi kebutuhan bibit dan buruh tani.
Pagi itu, sekitar pukul 06.00, kabar baik datang: Pak Edi di kampung sebelah masih memiliki sisa bibit. Saya dan suami langsung menuju sawahnya. Setelah berbincang, Pak Edi memperbolehkan kami membeli dan mencabut bibitnya tanpa mematok harga. Kami pun buru-buru pulang untuk mencari tenaga ndaut (cabut bibit).
Satu per satu, saya mendatangi warga yang biasa bekerja di sawah. Mbah S ternyata tidak ada di rumah—anaknya mengatakan ia sudah berangkat ke sawah, entah di lahan siapa. Pak M sedang sakit, sedangkan Mas K hanya menggelengkan tangan tanpa alasan jelas. Mbah T juga menolak karena sudah berjanji bekerja di tempat lain. Pagi itu, saya hanya mendapat dua pekerja dadakan dan satu pekerja tetap, padahal butuh empat sampai lima orang. Beruntung, Pak Edi dan pekerjanya membantu mencabut bibit.
Buruh Tani Menua, Generasi Muda Enggan Terjun
Kami, para petani di desa, sudah lama merasakan kesulitan mencari tenaga kerja. Mayoritas buruh tani berusia di atas 50 tahun, dan jumlahnya tidak sebanding dengan luas lahan. Akibatnya, banyak petani terpaksa mendatangkan pekerja dari luar desa, bahkan luar kabupaten. Tak heran, beberapa pemilik lahan memilih menyewakan tanah mereka. “Gak mau pusing cari orang,” begitu alasan singkat mereka. Saya pun pernah melakukannya—menyewakan seluruh lahan selama setahun.
Keluhan ini juga disampaikan perwakilan petani saat audiensi dengan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) pada 4 Mei 2025. Kelompok tani berharap pemerintah desa mendorong generasi muda, terutama Gen Z, untuk melanjutkan usaha nenek moyang mereka. Sayangnya, saat ini sawah hanya diisi oleh lansia yang fisiknya masih kuat. Kaum milenial lebih memilih bekerja di sektor konstruksi, sementara Gen Z membanjiri kota besar.
Pertanian Dipandang Sebelah Mata
Ironisnya, desa dengan lahan pertanian luas justru ditinggalkan penerusnya. Bertani sering dianggap rendah, meski bukan itu satu-satunya alasan generasi muda enggan terjun. Menurut survei Jakpat (14 Oktober 2022), Gen Z tidak tertarik bertani karena minim pengembangan karier, berisiko tinggi, pendapatan kecil, dan dianggap tidak menjanjikan.
Peluang Pertanian di Tengah PHK Massal
Di tengah maraknya PHK dan pengangguran, banyak orang tetap bertahan di kota dengan alasan berbeda. Padahal, tidak semua sukses—banyak yang justru hidup terlunta-lunta. Saya teringat kisah suami yang memilih pulang kampung dan bertani setelah gagal dapat kerja di Bandung, meski tidak punya sawah.
Haruskah punya sawah dulu baru sejahtera? Tidak selalu. Dari pengamatan saya, banyak petani sukses menggarap lahan sewaan. Kami memulai karir pertanian dengan membeli gabah basah saat panen raya, lalu menjualnya setelah dikeringkan di bulan Desember saat harga tinggi.
Gubernur Jawa Barat, Pak Dedi, pernah berpesan: “Hidup harus prihatin, jangan kebanyakan gaya.” Pesan ini juga sering diulang orang tua saya. Memang wajar Gen Z enggan bertani—mereka sedang mengejar masa depan. Tapi, bagaimana dengan milenial di atas 40 tahun yang menganggur dan punya tanggungan keluarga? Mengapa tidak mencoba bertani atau jadi buruh tani?
Pertanian: Sektor Penyerap Tenaga Kerja Terbesar
BPS (Agustus 2024) mencatat, pertanian masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Namun, minatnya sangat rendah. Contohnya, di kampung saya, kebutuhan buruh tani sangat tinggi. Kami mendatangkan 20 pekerja tandur dari Ngawi, belum termasuk pencangkul, pencabut benih, dan perabuk. Para buruh ini sering berpindah-pindah sawah—4 hari di lahan saya, lalu ke petani lain sampai semua lahan tertanami.
Stigma “Petani Tidak Sejahtera”: Benarkah?
“Petani dan buruh tani tidak sejahtera?” Ini stigma tanpa data. Kesejahteraan relatif—bagi saya, hidup sekarang cukup (tidak kaya, tapi cukup). Tapi, bagi orang lain, mungkin belum. Yang jelas, peluang di sektor pertanian masih terbuka lebar bagi yang mau bekerja keras.