CANBERRA, desapenari.id – Pemerintah Australia secara berani memutuskan untuk mengakui kedaulatan negara Palestina. Langkah strategis ini jelas menandai perubahan signifikan dalam arah kebijakan luar negeri Canberra. Bahkan, keputusan ini berani diambil meski berpotensi menyinggung perasaan Israel, yang selama ini menjadi sekutu historisnya.
Pemerintah secara resmi mengumumkan keputusan bersejarah ini pada 11 Agustus 2025. Pengumuman itu sendiri muncul hanya beberapa hari setelah puluhan ribu masyarakat Australia membanjiri Jembatan Pelabuhan Sydney untuk menggelar aksi solidaritas. Massa secara lantang menyerukan perdamaian abadi dan mendesak pengiriman bantuan kemanusiaan segera ke Gaza. Wilayah tersebut telah menjadi medan pertempuran sejak hampir dua tahun lalu, ketika Israel melancarkan operasi militer besar-besaran sebagai respons atas serangan lintas batas oleh Hamas.
Data terbaru dari otoritas kesehatan Gaza mencatat korban tewas telah melampaui angka 60.000 warga Palestina. Di sisi lain, PBB secara terus-menerus memperingatkan ancaman krisis kelaparan yang kian parah. “Situasi ini membuat dukungan membabi buta kepada Israel menjadi semakin tidak populer secara politik; masyarakat global kini lebih banyak menyoroti kesalahan Hamas,” jelas Martin Kear, seorang akademisi Universitas Sydney yang mendalami konflik Israel-Hamas, seperti yang dikutip dari Reuters pada Jumat (22/8/2025).
baca juga: TERBONGKAR! Presiden Iran Terluka dalam Serangan Israel
Akibat keputusan ini, hubungan bilateral Australia dan Israel memburuk secara drastis dan mencapai titik terendah dalam beberapa dekade terakhir. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pun melayangkan kritik pedas terhadap koleganya dari Australia, Anthony Albanese. Sebagai bentuk protes, Israel mencabut visa diplomat Australia yang bertugas di Tepi Barat dan memberlakukan larangan masuk bagi seorang anggota parlemen Israel yang hendak berkunjung ke Australia.
Selanjutnya, ketegangan memicu perang kata-kata yang melibatkan sejumlah politisi dari kedua negara. Netanyahu bahkan secara terang-terangan menuduh Albanese sebagai pemimpin yang lemah dan pengkhianat Israel. Netanyahu menegaskan, “Saya yakin dia memiliki rekam jejak baik sebagai pelayan publik, tetapi kelemahannya dalam menghadapi Hamas akan menodai rekam jejaknya selamanya,” dalam wawancara eksklusif dengan Sky News Australia, Kamis (21/8/2025) malam.
Di lain pihak, dukungan publik dalam negeri Australia terhadap pengakuan Palestina justru mengalami peningkatan yang sangat tajam. Survei DemosAU Agustus 2025 menunjukkan 45% masyarakat mendukung langkah pemerintah, bahkan tanpa menunggu kesepakatan damai. Angka ini melonjak signifikan dari 35% pada tahun sebelumnya. Sementara itu, hanya 23% yang menyatakan penolakan.
kunjungi juga laman gadget dan teknologi di Newtechclub.com
Meski demikian, ketegangan politik yang memanas ini justru menimbulkan kecemasan mendalam di kalangan komunitas Yahudi Australia. Dewan Eksekutif Yahudi Australia, yang membawahi lebih dari 200 organisasi Yahudi, mengirimkan surat terbuka kepada Albanese dan Netanyahu. Mereka mendesak kedua pemimpin agar meredakan ketegangan dengan bijak.
“Ketika wacana politik di media begitu panas dan terfokus pada kritik terhadap Israel, maka akan selalu ada konsekuensi riil bagi komunitas Yahudi lokal. Itu adalah sesuatu yang harus kita renungkan bersama,” katanya. Sejak awal perang, Australia sendiri telah menghadapi lonjakan tajam dalam insiden antisemit, termasuk aksi vandalisme terhadap sinagoge dan gedung komunitas Yahudi.
Pada hakikatnya, Australia merupakan pendukung awal berdirinya negara Israel dan selama ini konsisten menyuarakan solusi dua negara. Namun, menurut Jessica Genauer, akademisi Universitas Flinders, pragmatisme politik Albanese membuatnya sebelumnya enggan mengakui Palestina secara resmi hingga gelombang simpati publik memuncak dan tidak terbendung.
“Albanese pada dasarnya tetaplah seorang yang pragmatis dan sangat berhati-hati,” ujar Genauer. Lebih lanjut, kemenangan besar Albanese pada pemilu Mei 2025 disebutkan memberikan ruang politik yang lebih longgar untuk mengambil keputusan berani ini. Dukungan dari sekutu utama seperti Inggris, Perancis, dan Kanada yang lebih dulu menyatakan sikap serupa juga mempermudah langkah Canberra.
“Australia tidak ingin memimpin dalam mengukir jalur baru yang berisiko, tetapi mereka juga tidak ingin tertinggal dari sekutu-sekutu utama lainnya di seluruh dunia,” pungkas Genauer.