JAKARTA, Desapenari.id – Tanpa ampun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menunjukkan taringnya dengan menyita uang fantastis senilai Rp 54 miliar pada Kamis, 25 September 2025. Aksi penyitaan ini merupakan bagian dari penyidikan kasus dugaan korupsi yang mengguncang dunia perbankan BUMN, tepatnya dalam pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (BRI). Selanjutnya, melalui keterangan resminya, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dengan tegas mengonfirmasi perkembangan panas ini. Bahkan, langkah ini bukanlah yang pertama, melainkan kelanjutan dari upaya pemberantasan korupsi yang tak kenal kompromi.
Lantas, dari mana asal dana segunung ini? Ternyata, uang senilai Rp 54 miliar tersebut secara mengejutkan merupakan pengembalian sukarela dari salah satu vendor proyek EDC BRI yang sedang ditangani KPK. Artinya, vendor tersebut dengan kesadaran sendiri mengembalikan dana yang diduga terkait dengan tindak pidana korupsi. Selain itu, jumlah ini bukanlah angka kecil karena langsung menambah pundi-pundi penyitaan sebelumnya yang telah mencapai Rp 11 miliar. Akibatnya, total dana yang berhasil diamankan KPK dari vendor ini melonjak drastis menjadi Rp 65 miliar. Budi Prasetyo pun menjelaskan, langkah pengembalian dana ini sebenarnya merepresentasikan itikad baik dan bentuk kerja sama positif dari pihak vendor dengan para penyidik.
Di satu sisi, KPK sangat menghargai langkah kooperatif ini. Bahkan, mereka secara terbuka menyampaikan harapan besarnya agar kerja sama seperti ini dapat mendongkrak efektivitas proses penyidikan. Yang lebih penting lagi, langkah strategis ini diharapkan mampu memulihkan kerugian negara secara optimal. Oleh karena itu, KPK tidak segan-segan mengimbau vendor-vendor lain yang masih berhubungan dengan proyek EDC BRI untuk mencontoh sikap kooperatif ini. Budi Prasetyo juga memberikan peringatan serius, KPK sama sekali tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkan perkara ini lebih luas, baik kepada korporasi lainnya maupun ke ranah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Lalu, siapa saja otak di balik skandal besar ini? Sebelumnya, KPK telah bergerak cepat dengan menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka adalah orang-orang yang duduk di posisi puncak, seperti eks Direktur IT BRI Indra Utoyo, eks Wakil Direktur Utama BRI Catur Budi Harto, dan eks SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI Dedi Sunardi. Tidak ketinggalan, pihak dari vendor juga turut tersandung, yaitu Direktur PT Pasific Cipta Solusi, Elvizar, serta petinggi PT Bringin Inti Teknologi, Rudi Suprayudi Kartadidjadja. Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, kemudian membeberkan bahwa akar masalahnya berawal dari sebuah kesepakatan rahasia antara Indra Utoyo dan Catur Budi dengan Elvizar yang telah dirancang sejak tahun 2019.
Yang mencengangkan, kesepakatan tersebut dengan sengaja menunjuk perusahaan milik Elvizar, bersama PT Bringin Inti Teknologi, sebagai vendor pengadaan EDC tanpa melalui prosedur lelang yang seharusnya. Bahkan yang lebih parah, proses pengujian produk pun sengaja tidak dilakukan secara terbuka dan luas. Akibatnya, vendor-vendor lain serta merek-merek pesaing sama sekali tidak memperoleh informasi dan kesempatan untuk berpartisipasi. Dengan kata lain, praktik ini jelas-jelas mematikan prinsip persaingan sehat dan transparansi dalam pengadaan barang pemerintah.
Seiring berjalannya penyidikan, KPK berhasil mengungkap aliran gratifikasi yang sangat besar, baik dalam bentuk uang tunai maupun barang mewah. Sebagai contoh, Catur Budi tercatat menerima gratifikasi uang senilai Rp 525 juta, ditambah dengan sepeda dan dua ekor kuda. Sementara itu, Dedi Sunardi diduga menerima sebuah sepeda Cannondale yang harganya mencapai Rp 60 juta. Namun, yang paling mengejutkan, Rudi dari PT Bringin Inti Teknologi disebut-sebut menerima aliran dana yang sangat besar, yaitu Rp 19,77 miliar, yang diterimanya secara bertahap dari tahun 2020 hingga 2024.
Pada akhirnya, semua praktik tidak terpuji ini berujung pada kerugian negara yang jumlahnya sungguh fantastis. Berdasarkan hasil perhitungan mendalam menggunakan metode real cost, KPK menaksir kerugian negara yang ditanggung akibat proyek EDC ini mencapai angka yang sulit dibayangkan, yaitu Rp 744,54 miliar. Angka ini semakin mempertegas betapa seriusnya dampak dari korupsi yang sistematis ini dan mengapa KPK perlu bekerja ekstra keras untuk mengamankan aset negara yang hilang.
Dengan demikian, kasus ini menjadi bukti nyata dan pelajaran berharga bagi semua pihak tentang pentingnya integritas dalam setiap pengadaan barang dan jasa, khususnya di BUMN. Kita semua berharap, upaya KPK yang tak kenal lelah ini tidak hanya berhenti pada penyitaan aset, tetapi juga mampu membawa keadilan dan memberikan efek jera yang maksimal. Selain itu, masyarakat pun terus mengawasi proses hukum selanjutnya, menanti pertanggungjawaban dari setiap tersangka yang terlibat.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com