Desapenari.id – Menjelang momen pidato pentingnya di panggung dunia, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu justru melontarkan kecaman tajam. Pada Kamis, 25 September 2025, dengan nada penuh amarah, ia secara terbuka mengecam para pemimpin global yang berani memberikan pengakuan terhadap negara Palestina. Sikap kerasnya ini ia sampaikan tepat sebelum menerbangkan diri ke Amerika Serikat untuk serangkaian agenda diplomasi intensif, yang puncaknya adalah pidato di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dengan penuh keyakinan, Netanyahu membakar semangat para pendukungnya dari Bandara Ben Gurion. “Di Sidang Umum nanti, saya akan menyuarakan kebenaran kita, kebenaran warga Israel, kebenaran para prajurit, dan kebenaran bangsa kita,” tegasnya, seperti yang dikutip langsung dari kantor berita AFP. Namun, yang membuat pernyataannya begitu viral adalah kalimat berikutnya yang penuh emosi. Dengan kemurkaan yang terpancar jelas, ia menyerang, “Saya akan mengecam para pemimpin yang bukannya mengutuk para pembunuh, pemerkosa, dan pembakar anak-anak, justru ingin memberi mereka sebuah negara di jantung Israel. Itu tidak akan terjadi!” Pernyataan bombastis ini dengan jelas memposisikan pengakuan terhadap Palestina sebagai sebuah dukungan terhadap terorisme.
Lantas, apa yang memicu kemarahan Netanyahu? Ternyata, pernyataannya ini bukan tanpa alasan. Gelombang pengakuan negara Palestina oleh sejumlah negara Barat baru saja mencapai puncaknya. Tiga hari sebelum Netanyahu berbicara, tepatnya pada Senin, Perancis secara aktif memimpin sebuah pertemuan khusus di sela-sela Sidang Umum PBB. Dalam forum tersebut, sejumlah negara Barat akhirnya memutuskan untuk memberikan pengakuan resmi kepada Palestina. Yang paling mengejutkan, Inggris, yang selama ini dikenal sebagai sekutu dekat Israel dan Amerika Serikat, justru ikut bergabung dalam gelombang pengakuan ini. Fakta inilah yang diduga menjadi pemicu utama kecaman pedas dari Netanyahu.
Menanggapi gelombang pengakuan tersebut, Netanyahu sudah lebih dulu menunjukkan penolakannya. Sehari sebelumnya, pada Rabu (24/9/2025), ia dengan tegas menegaskan bahwa gelombang pengakuan itu “sama sekali tidak mewajibkan Israel dengan cara apa pun” untuk ikut mengakui Palestina. Bahkan, ia tidak segan-segan menyebut langkah diplomatik negara-negara Barat tersebut sebagai sebuah “penyerahan memalukan dari sejumlah pemimpin kepada Hamas.” Dengan kata lain, Netanyahu dengan sengaja membingkai pengakuan ini bukan sebagai dukungan untuk rakyat Palestina, melainkan sebagai sebuah kemenangan bagi kelompok yang ia anggap teroris.
Di balik kecamannya yang keras terhadap dunia internasional, Netanyahu justru menyimpan agenda lain yang mungkin menjadi kunci strateginya. Dalam lawatannya ke Washington DC ini, ia mengonfirmasi akan kembali bertemu dengan Presiden AS Donald Trump. Pertemuan ini menjadi pertemuan keempat mereka sejak Trump kembali menduduki kursi kepresidenan pada awal 2025. Netanyahu mengungkapkan optimisme dengan mengatakan, “Saya akan membahas dengannya peluang besar yang telah dibawa oleh kemenangan kita, serta kebutuhan kita untuk menyelesaikan tujuan perang: membawa pulang semua sandera kita, mengalahkan Hamas, dan memperluas lingkaran perdamaian yang telah terbuka bagi kita.” Pertemuan ini jelas menjadi sorotan, karena akan sangat menentukan arah kebijakan AS selanjutnya.
Sementara itu, dari kubu Amerika Serikat, muncul sebuah informasi menarik yang masih diselubungi misteri. Utusan khusus AS, Steve Witkoff, mengungkapkan bahwa Trump telah mempresentasikan sebuah rencana perdamaian berisi 21 poin untuk Palestina kepada sejumlah negara Arab-Islam. “Kami mempresentasikan apa yang kami sebut rencana 21 poin Trump untuk perdamaian di Timur Tengah dan Gaza,” ujar Witkoff di sela-sela sidang PBB. Ia menambahkan, “Saya pikir itu mengakomodasi kekhawatiran Israel sekaligus kekhawatiran semua negara tetangga di kawasan.” Namun, yang membuat semua pihak penasaran, isi detail dari 21 poin tersebut sengaja dirahasiakan dan tidak diungkap ke publik. Kerahasiaan ini tentu memicu berbagai spekulasi tentang isi sebenarnya dari proposal perdamaian Trump.
Namun, di tengah hiruk-pikuk diplomasi tingkat tinggi dan pidato-pidato yang menggelegar, realita pahit di tanah Gaza justru terus berlanjut. Pada hari yang sama dengan pernyataan Netanyahu, Kamis (25/9/2025), Israel kembali melakukan serangan udara. Serangan ini dikabarkan menargetkan sebuah rumah yang menampung pengungsi di Gaza tengah. Akibatnya, setidaknya 11 orang dilaporkan tewas dalam insiden tersebut. Seorang juru bicara pertahanan sipil Gaza dengan lantang menyatakan bahwa serangan itu sengaja menargetkan area yang padat dengan pengungsi. Ironisnya, insiden berdarah ini terjadi bersamaan dengan pembicaraan tentang “perdamaian” di gedung-gedung mewah PBB.
Tragedi ini bukanlah insiden tunggal. Dalam beberapa pekan terakhir, militer Israel diketahui masih terus melanjutkan operasi daratnya di Kota Gaza. Operasi militer skala besar ini secara tidak langsung telah memaksa ratusan ribu warga sipil untuk meninggalkan rumah mereka sendiri, menciptakan krisis kemanusiaan yang semakin dalam. Dengan demikian, situasi di lapangan masih jauh dari kata kondusif, dan menciptakan kontras yang tajam dengan narasi “kemenangan” dan “peluang perdamaian” yang disampaikan oleh Netanyahu. Kondisi ini semakin memperumit upaya diplomasi dan memperdalam ketidakpercayaan antara kedua belah pihak.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com