ZUG, Desapenari.id – Dalam sebuah langkah bersejarah, Pengadilan di Swiss bakal membuka sidang penting pada Rabu (3/9/2025). Sidang ini menyoroti gugatan mengejutkan yang dilayangkan oleh warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, terhadap perusahaan raksasa semen Holcim. Secara berani, empat warga dari pulau kecil tersebut maju untuk menuntut kompensasi atas kerusakan lingkungan yang telah mereka derita. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa perubahan iklim, yang dipicu oleh emisi karbon dari kegiatan industri Holcim, menjadi biang keladi utama.
Selanjutnya, gugatan ini dengan cepat menempatkan diri sebagai bagian dari tren global yang semakin meluas. Di tren ini, warga dari negara berkembang mulai berani menuntut pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan besar atas kerusakan iklim yang langsung menghancurkan kehidupan mereka. Sidang yang digelar di Kota Zug, Swiss—kantor pusat Holcim—ini pun menjadi sorotan dunia. Dua dari empat penggugat bahkan hadir langsung dengan tekad bulat untuk menyampaikan tuntutan mereka di hadapan majelis hakim.
Pulau Pari Mulai Ditelan Laut
Parahnya, Pulau Pari yang hanya memiliki luas sekitar 42 hektar dilaporkan telah kehilangan hampir 11 persen wilayahnya. Penyebab utamanya tidak lain adalah kenaikan permukaan laut yang begitu drastis. Warga setempat pun mengeluhkan bahwa banjir rob kini semakin sering melanda dan intensitasnya semakin parah. Banjir ini bukan hanya merusak rumah-rumah penduduk, tetapi juga secara langsung menggerus mata pencaharian mereka sebagai nelayan dan pelaku usaha wisata.
“Saya sangat berharap kasus kami ini akan memicu inspirasi bagi para korban iklim lainnya di seluruh dunia,” ucap Asmania, salah satu penggugat, dengan penuh semangat kepada para wartawan dalam konferensi pers di Swiss pekan lalu. Pernyataannya ini dikutip langsung dari kantor berita ternama, AFP. Sungguh, gugatan ini merupakan kali pertama warga Indonesia menggugat perusahaan asing atas dampak perubahan iklim. Selain itu, ini juga menjadi gugatan perdana di dunia terhadap perusahaan semen besar yang dikaitkan dengan emisi karbon global.
Tuntutan Konkret untuk Masa Depan Pulau Pari
Kemudian, para penggugat pun menuntut Holcim untuk membayar kompensasi senilai 3.600 franc Swiss (sekitar Rp 73,6 juta) untuk setiap individu. Mereka berencana menggunakan dana tersebut untuk membiayai langkah-langkah adaptasi yang mendesak, seperti penanaman mangrove kembali dan pembangunan pemecah gelombang yang kokoh di Pulau Pari. Organisasi Swiss Church Aid (HEKS), yang mendampingi perjuangan hukum ini, lantas menekankan bahwa nilai kompensasi itu sesungguhnya hanya merepresentasikan 0,42 persen dari total biaya kerusakan aktual.
Angka 0,42 persen itu sendiri bukanlah angka asal-asalan. Angka tersebut dirujuk dari perhitungan ilmiah yang menyatakan bahwa Holcim bertanggung jawab atas 0,42 persen dari total emisi industri global sejak tahun 1750. Tidak berhenti di situ, para penggugat juga mendesak Holcim agar segera menurunkan emisi gas rumah kacanya secara agresif, yaitu sebesar 43 persen pada 2030 dan 69 persen pada 2040. “Para penggugat berharap pengadilan menyatakan diri berwenang dan menegaskan bahwa Holcim turut bertanggung jawab atas krisis iklim yang menghancurkan pulau mereka,” tegas Yvan Maillard-Ardenti, Kepala Program Keadilan Iklim HEKS, kepada AFP.
Holcim Beralih ke Pemerintah, Aktivis Soroti Kontribusi Emisi
Di sisi lain, Holcim pun memberikan tanggapan resmi terhadap gugatan tersebut. Perusahaan menyatakan bahwa mereka tetap berkomitmen penuh terhadap aksi iklim. Namun, mereka secara halus menolak gugatan dengan alasan bahwa kebijakan terkait emisi CO2 seharusnya menjadi ranah legislatif dan pemerintah, bukan ditentukan melalui pengadilan sipil. “Pertanyaan mengenai siapa yang boleh mengeluarkan berapa banyak CO2 seharusnya ditentukan oleh pemerintah, bukan pengadilan,” demikian bunyi pernyataan resmi Holcim yang terkesan defensif.
Akan tetapi, para aktivis lingkungan justru menyoroti fakta lain yang tidak bisa dipungkiri. Mereka menegaskan bahwa industri semen adalah salah satu penyumbang terbesar emisi karbon global. Holcim sendiri disebut-sebut masuk dalam daftar 100 perusahaan penghasil CO2 terbesar di dunia. Meskipun keputusan pengadilan belum diketahui waktu keluarannya, banyak pihak telah menilai bahwa kasus ini berpotensi menjadi tonggak bersejarah dalam perjuangan hukum terkait keadilan iklim. Terutama, ini menjadi angin segar bagi masyarakat negara berkembang yang selama ini hanya menjadi korban langsung dari ulah perusahaan-perusahaan raksasa.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com

