Desapenari.id – Gaya bicara Menteri Keuangan (Menkeu) baru, Purbaya Yudhi Sadewa, tiba-tiba saja viral dan memicu badai kritik di media sosial. Pasalnya, dalam pernyataannya yang terkesan menggampangkan, Purbaya dengan enteng menyebut bahwa gelombang unjuk rasa pada akhir Agustus 2025 hanya melibatkan segelintir kelompok kecil. Lebih lanjut, ia bahkan berkomentar bahwa aksi protes tersebut mungkin hanya muncul karena ada pihak yang merasa tidak nyaman dengan hidupnya yang masih kekurangan. “Saya ciptakan pertumbuhan ekonomi enam persen tujuh persen itu akan hilang otomatis,” ucap Purbaya dengan penuh keyakinan di lingkungan Kementerian Keuangan, Senin (8/9/2025). Ia juga menambahkan, “Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak dibandingkan mendemo,” yang semakin memantik amarah warganet.

Akibat pernyataannya itu, warganet pun ramai-ramai menyoroti sikap Purbaya yang dinilai terlalu percaya diri dan jumawa. Padahal, ia baru saja dilantik sebagai Menkeu, namun sudah berani menyatakan bisa mengatasi semua persoalan ekonomi negeri ini. Sebelumnya, Purbaya sempat mengakui bahwa ekonomi memang sedang melambat, tetapi ia dengan yakin menyatakan sudah mempelajari semua kelemahannya dan berjanji akan membuat ekonomi “cerah” hanya dalam waktu 2-3 bulan ke depan. Salah satu warganet, @Yun*, langsung menyindir keras dengan menulis, “TERLALU JUMAWA, TAKABUR, BIASANYA NANTI KEJADIANYA KEBALIKANNYA,” sebagai respons terhadap video wawancara Purbaya. Warganet lain juga ikut menyelipkan komentar pedas, “Kok kesannya ‘jumawa’.” Sementara itu, akun @ag8** memberikan nasihat, “Jgn ngomong ambisius dulu pak menteri sebab anda adalah nahkoda baru yg blm pernah pengalaman sebagai nahkoda ..gelombang tuntutan anggaran cukup ganas dan sangat tdk teratur.”

Lantas, bagaimana sebenarnya para pakar menilai gaya komunikasi Purbaya yang dianggap jumawa dan over-pede ini? Dosen Komunikasi Universitas Indonesia (UI), Whisnu Triwibowo, kemudian menganalisisnya dari sudut pandang makro dan mikro. Dari sisi makro, ia menjelaskan bahwa reshuffle kabinet dan penunjukan Purbaya sebenarnya adalah langkah politik pemerintah untuk membangun legitimasi dan merespons 17+8 Tuntutan Rakyat. Whisnu menegaskan, “Bahwa reshuffle itu sebenarnya tujuannya itu tadi untuk meyakinkan publik bahwa pemerintah bekerja, tuntutan publik berusaha diakomodasi.” Sementara dari sisi mikro, seorang komunikator publik wajib memahami tiga pilar utama: ethos (kredibilitas), pathos (emosi), dan logos (logika). Whisnu melihat, Purbaya berusaha membangun ethos-nya dengan menyebutkan kedekatannya dengan mantan presiden seperti SBY dan Jokowi, serta pengalamannya di pasar. “Wajar sebagai pejabat publik baru dia mencoba menjual ‘jualannya’… Itu bisa dipahami,” jelasnya.

Namun, Whisnu sangat menekankan aspek pathos. Ia mengingatkan bahwa seorang komunikator harus benar-benar memahami suasana kebatinan publik yang sedang tidak baik-baik saja. Alih-alih membuat pernyataan yang terkesan meremehkan, Purbaya seharusnya menggunakan diksi yang lebih netral dan empatik. “Publik dalam kondisi sedang tidak baik-baik sehingga komunikator harus bisa membuat ucapan yang berempati,” tegas Whisnu. Selain itu, dari segi logos atau logika, pernyataan Purbaya dinilai belum kuat. Publik menganggapnya tidak logis karena ia baru saja dilantik namun sudah berjanji bisa menyelesaikan masalah ekonomi yang kompleks. “Publik kan juga enggak lihat fakta dan evidensinya dari beliau, karena kan belum tahu rekam jejaknya,” imbuh Whisnu. Ia menambahkan, kebatinan publik saat ini masih sangat anti terhadap pejabat yang dianggap arogan.

Di sisi lain, ekonom Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (Celios) juga memberikan peringatan keras. Bhima meminta Purbaya untuk tidak over-pede dan justru menunjukkan kerendahan hati serta empati dalam setiap keterangan persnya. “Perlu diingat kenapa Sri Mulyani mendapat kritikan publik karena statement soal pajak dan beban pendidikan. Pak Purbaya jangan ulangi kesalahan yang sama,” tegas Bhima. Ia menyarankan agar Purbaya lebih fokus pada kebijakan nyata yang langsung menjawab tuntutan publik, seperti memberikan keringanan pajak bagi pekerja dan kelompok menengah bawah. Selain itu, publik juga butuh transparansi mengenai efisiensi anggaran dan reformasi tata kelola utang. “Fokus saja benahi rasio pajak yang rendah dengan inovasi pajak dan mengejar kepatuhan pajak di sektor ekstraktif,” ujarnya.

Bhima kemudian merespons langsung janji Purbaya yang percaya diri bisa memulihkan ekonomi dalam beberapa bulan. Menurutnya, ada dua hal mendesak yang harus segera dilakukan. Pertama, pemerintah harus segera menurunkan semua kebijakan pajak yang memberatkan konsumen domestik. Bhima memberikan contoh konkret, seperti memangkas tarif PPN dari 11% menjadi 8%, mirip dengan langkah yang berhasil dilakukan Vietnam. Kedua, ia menekankan pentingnya relaksasi efisiensi anggaran agar perputaran uang di daerah bisa lebih lancar dan mencegah kenaikan retribusi serta pajak daerah yang memberatkan masyarakat. “Ini momentum bagi menkeu yang baru untuk menunjukkan jalan keluar dari masalah fiskal,” pungkas Bhima.

Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com