Desapenari.id — Kelalaian Sistemik dan “Kartu Kuning” Geopark Kaldera Toba, Ini Dampaknya. Pada September 2023, UNESCO memberikan peringatan keras berupa “kartu kuning” kepada Geopark Kaldera Toba. Peringatan ini bukan sekadar teguran biasa, melainkan sinyal bahaya yang mengancam pencabutan status Kaldera Toba sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark (UGGp). Sayangnya, tanpa perbaikan tata kelola yang serius, prestasi ini bisa lenyap dalam hitungan tahun.
Dalam rapat Komisi VII DPR RI, para anggota DPR menyuarakan kekhawatiran mereka dengan lantang. Mereka menekankan bahwa status UGGp Kaldera Toba harus dikelola sesuai prinsip UNESCO: pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat, konservasi, dan edukasi publik. Namun, alih-alih menjadi destinasi unggulan berbasis ekologi, kenyataannya justru jauh dari harapan.
Sudah lima tahun Kaldera Toba menyandang status geopark dunia. Seharusnya, predikat ini menjadi penggerak ekonomi berbasis wisata, pelestarian alam, dan pendidikan lingkungan. Namun, faktanya, kawasan ini justru dipenuhi ketimpangan tata ruang, eksploitasi lahan, minimnya partisipasi masyarakat, dan koordinasi yang amburadul. UNESCO jelas mencium masalah ini, sehingga mereka tidak ragu memberikan “kartu kuning”.
Baca Juga: PDI-P Bela Sikap Hasto dalam Kasus Pergantian Caleg Riezky Aprilia
Sebagai orang yang sering terlibat dalam perbaikan kelembagaan, saya melihat akar masalahnya jelas: lemahnya koordinasi dan ego sektoral. Danau Toba, sebagai kawasan strategis nasional, mencakup tujuh kabupaten: Toba, Samosir, Simalungun, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, dan Karo. Sayangnya, masing-masing daerah lebih sibuk menjalankan program sendiri-sendiri tanpa integrasi. Akibatnya, perencanaan jadi tidak terarah, data minim, dan kebijakan cenderung sekadar “populis” tanpa dampak jangka panjang.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara seharusnya menjadi penggerak koordinasi antar-kabupaten. Namun, kenyataannya, mereka cenderung pasif. Ketika Pemprov tidak mengambil peran, kebijakan menjadi terfragmentasi. Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan bukti kelalaian sistemik yang harus segera dibenahi.
Sebenarnya, kita punya Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) yang dibentuk melalui Perpres No. 49/2016. Lembaga ini berada di bawah Kemenparekraf dan seharusnya menjadi katalisator pembangunan kawasan Danau Toba. Namun, sejauh ini, perannya belum terasa maksimal.
Pertama, pemerintah pusat harus memastikan BPODT bekerja efektif dengan dukungan penuh dari semua pemangku kepentingan. Kedua, Pemprov Sumut harus mengambil alih peran koordinasi dengan tegas. Ketiga, seluruh kabupaten harus meninggalkan ego sektoral dan mulai berkolaborasi.
Jika tidak, “kartu kuning” dari UNESCO bisa berubah menjadi “kartu merah”, dan kita semua akan kehilangan salah satu warisan dunia yang seharusnya menjadi kebanggaan bangsa. Waktunya bertindak, sebelum semuanya terlambat!