Parah! Petugas Royalti Musik Datangi Kafe di Tebet

JAKARTA, Desapenari.id – Seorang pengusaha kafe di Tebet, Jakarta Selatan, terkejut ketika petugas LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) tiba-tiba datang ke tempat usahanya. Petugas itu tidak hanya memberikan sosialisasi, tetapi langsung menyerahkan dua dokumen – penjelasan royalti dan formulir pembayaran. Padahal, sang pemilik sama sekali belum memahami betul aturan royalti musik ini.

Peristiwa ini mulai terjadi pada Mei 2025. Petugas LMKN datang tanpa pemberitahuan sebelumnya dan memberikan surat sosialisasi beserta formulir. Yang membuat bingung, mereka tidak menyebutkan batas waktu pengembalian formulir. “Kapan Bapak bisa mengembalikan formulir ini?” tanya petugas dengan santai, justru membuat pemilik kafe semakin bingung.

Masalah utama muncul karena petugas tidak menjelaskan secara rinci. Mereka tidak memberikan penjelasan tentang tarif untuk kafe sekecil miliknya, atau apakah ada keringanan untuk UMKM. “Mereka hanya menyebut angka Rp120 ribu per bangku, tanpa penjelasan lebih lanjut. Seperti harga mati yang tidak bisa ditawar,” keluh pemilik kafe tersebut.

Sebenarnya, pemilik kafe bersedia membayar royalti. Namun minimnya sosialisasi membuatnya khawatir, terutama setelah kasus Mie Gacoan di Bali mencuat. “Untuk sementara kami hentikan dulu pemutaran musik di kafe, bahkan membatalkan jadwal live music,” ucapnya.

Ketika pemilik kafe meminta penjelasan lebih detail, petugas malah menyuruhnya datang ke kantor LMKN. “Harusnya mereka yang datang menjelaskan ke kami, kenapa malah kami yang harus datang ke kantor mereka?” protesnya. Sudah dua bulan lebih berlalu, pemilik kafe ini masih menunggu kejelasan aturan.

Kasus Mie Gacoan di Bali benar-benar memicu polemik. Polda Bali menjerat seorang direktur sebagai tersangka karena memutar lagu tanpa membayar royalti. Sungguh ironis, seseorang bisa berurusan dengan hukum hanya karena memutar lagu di tempat usahanya!

baca juga: Transformasi Royal Enfield Guerrilla 450 Jadi Street Tracker Keren ala Sideburn

Aturan royalti musik sebenarnya sudah tercantum dalam UU No. 28/2014 dan PP No. 56/2021. LMKN bersama lembaga seperti WAMI dan KCI mengelola pengumpulan royalti ini. Besarannya bervariasi, mulai Rp60 ribu per kursi per tahun untuk usaha kecil hingga Rp120 ribu untuk franchise besar.

Masalahnya, sosialisasi tentang aturan ini sangat kurang. Banyak pelaku usaha bertanya-tanya, apakah lagu dari Spotify atau YouTube juga kena royalti? Alih-alih memberikan pemahaman, pendekatan yang digunakan lebih mirip ancaman: bayar atau berurusan dengan hukum.

UMKM menjadi korban utama aturan ini. Mereka harus mengeluarkan Rp120 ribu per kursi, padahal omzet mereka belum tentu sebesar franchise ternama. “Ini seperti menghukum usaha kecil,” ujar seorang pemilik kedai kopi dengan nada kesal.

Yang dibutuhkan sekarang adalah transparansi dan pendekatan edukatif. Jangan sampai aturan hak cipta ini justru membuat pelaku usaha takut memutar musik. “Kami mau patuh, tapi beri kami pemahaman yang jelas dulu, jangan langsung main gebuk,” harap pemilik kafe tadi.

More From Author

Viral! tentara AS Tembaki 5 Rekannya di Markas Militer

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *