Desapenari.id – Ribuan warga sipil berbondong-bondong memenuhi barak militer, bukan untuk melarikan diri, tetapi untuk memegang senjata dan berlatih perang! Inilah pemandangan dramatis yang sedang terjadi di Venezuela. Jadi, apa yang sebenarnya memicu semua ini? Mari kita selidiki bersama, langkah demi langkah, ketegangan panas yang bisa memicu konflik besar di Amerika Latin.
Pertama-tama, mari kita lihat aksi presiden mereka, Nicolas Maduro. Pada Sabtu, 27 September 2025, pemerintah Venezuela secara resmi menggelar latihan militer besar-besaran. Namun, latihan ini bukan hanya rutinitas biasa; mereka secara khusus mengklaimnya sebagai simulasi kesiapsiagaan bencana. Menariknya, latihan ini diputuskan hanya beberapa jam setelah serangkaian gempa, dengan magnitudo terkuat 6.3, mengguncang wilayah barat negara itu. Meski gempa itu sendiri tidak menimbulkan kerusakan atau korban jiwa yang signifikan, gempa itulah yang kemudian dimanfaatkan Maduro sebagai momentum untuk memulai latihan. Dengan kata lain, dia dengan cepat mengubah krisis alam menjadi panggung untuk menunjukkan kesiapan militernya.
Lalu, apa sebenarnya tujuan terselubung di balik semua ini? Maduro sendiri dengan terang-terangan menyatakan bahwa latihan ini bertujuan untuk menguji “kesiapan rakyat menghadapi bencana alam maupun konflik bersenjata”. Bahkan, tanpa basa-basi lagi, dia menyebut “ancaman” Amerika Serikat sebagai alasan utama di balik seruan militernya itu. Sebagai akibat dari seruan ini, kita bisa menyaksikan ribuan warga Venezuela biasa dengan semangat bergabung dengan milisi sipil. Sebagai informasi, negara ini sebenarnya sedang mengalami kekurangan dana yang parah, namun hal itu tidak menghentikan warganya untuk berpartisipasi. Mereka dengan penuh semangat mengikuti pelatihan bersenjata yang diadakan tidak hanya di barak-barak militer, tetapi juga hingga ke lingkungan perumahan mereka sendiri! Selain itu, Maduro juga menegaskan bahwa sekolah dan rumah sakit akan ikut serta dalam simulasi ini, sebuah langkah yang dia klaim untuk “bersiap menghadapi keadaan apa pun.”
Nah, sekarang kita sampai pada inti masalahnya: ketegangan mematikan antara Venezuela dan Amerika Serikat. Jadi, mengapa hubungan kedua negara ini tiba-tiba memanas? Semuanya berawal ketika Presiden AS Donald Trump mengerahkan armada militer yang sangat kuat ke perairan Karibia selatan. Armada ini tidak main-main karena terdiri dari delapan kapal perang dan satu kapal selam bertenaga nuklir. Alasan resmi yang dikemukakan Trump adalah operasi ini merupakan bagian dari perang melawan perdagangan narkoba. Akan tetapi, langkah ini tentu saja ditafsirkan berbeda oleh Caracas. Sebagai bukti dari operasi tersebut, dalam beberapa pekan terakhir, pasukan militer AS telah menghancurkan setidaknya tiga kapal yang mereka tuduh sebagai kapal narkoba asal Venezuela. Serangan-serangan inilah yang konon menewaskan puluhan orang. Bahkan, yang lebih mengejutkan, sejumlah pakar PBB dengan tegas mengecam serangan-serangan ini sebagai “eksekusi di luar hukum”.
Kemudian, situasi menjadi semakin mencekam ketika laporan NBC mengungkapkan bahwa pejabat militer AS sedang menyusun opsi untuk menargetkan penyelundup narkoba langsung di dalam wilayah Venezuela. Menurut laporan tersebut, serangan semacam ini berpotensi terjadi “dalam beberapa minggu mendatang,” meskipun Trump sendiri dikabarkan belum menyetujuinya. Di sisi lain, saling tuduh antara kedua pemimpin pun terus terjadi. Trump secara terang-terangan menuduh Maduro memimpin kartel narkoba, sementara Caracas membalas dengan menuding Washington berupaya melakukan pergantian rezim. Suasana ini semakin panas ketika Presiden Kolombia, Gustavo Petro, dalam Sidang Umum PBB, menyerukan dibukanya “proses pidana” terhadap Trump atas serangan mematikan di Karibia tersebut.
Selanjutnya, kita harus membahas sebuah dekrit presiden yang sangat mengkhawatirkan. Pada Selasa, 23 September 2025, Maduro tampil di televisi nasional dengan membawa sebuah map merah yang bertuliskan: “Dekrit yang menyatakan keadaan kekacauan eksternal di seluruh wilayah nasional.” Sebagai catatan, Konstitusi Venezuela memang mengizinkan dekrit semacam itu, tetapi hanya dalam keadaan “konflik eksternal yang secara serius membahayakan keamanan bangsa.” Dekrit ini, jika diterbitkan, akan memberikan pemerintah kekuasaan darurat yang sangat luas. Misalnya, pemerintah bisa melewati parlemen, menangguhkan jaminan konstitusional, dan mengerahkan militer tanpa hambatan. Walaupun Maduro belum secara resmi mengumumkan dekrit tersebut, pada hari itu dia memberikan pernyataan yang menggantung: “kami sedang menyiapkan dekrit-dekrit penting…untuk skenario apa pun yang mungkin muncul”.
Akhirnya, kita tidak bisa mengabaikan suara dari kelompok masyarakat yang paling dirugikan. Kelompok hak asasi manusia, seperti Foro Penal, menyatakan kekhawatiran mereka yang mendalam kepada AFP. Mereka percaya bahwa pemerintah akan menggunakan dekrit darurat ini untuk membatasi kebebasan berkumpul, bergerak, dan berekspresi warga negaranya. Sebagai bukti dari kekhawatiran ini, Foro Penal melaporkan bahwa ratusan orang telah ditahan dengan alasan politik sejak pemilu ulang yang diperselisihkan pada Juli tahun lalu. Dengan demikian, situasi ini bukan hanya tentang ketegangan internasional, tetapi juga tentang masa depan demokrasi dan kebebasan di dalam negeri Venezuela sendiri. Klaim kemenangan Maduro dalam pemilu itu, yang hingga hari ini tidak diakui oleh Amerika Serikat dan banyak negara lain, menjadi akar dari krisis politik yang berkepanjangan ini.