Desapenari.id — Chelsea Enzo Fernandez sudah terbiasa bermain di bawah terik matahari yang menyengat. Buktinya, ia berhasil membawa Argentina menjuarai Piala Dunia 2022 di Qatar, di mana suhu udara saat itu benar-benar ekstrem. Ingat kan? Turnamen tersebut digelar pada November-Desember, saat Timur Tengah seperti “terpanggang” di atas 40°C.
Kini, hampir tiga tahun kemudian, Fernandez kembali menghadapi tantangan serupa. Kali ini, ia membela Chelsea di Piala Dunia Antarklub 2025 yang digelar di Amerika Serikat. Lagi-lagi, panas menjadi musuh utama. Saat melawan Fluminense di semifinal di MetLife Stadium, New Jersey, suhu mencapai 35,5°C!
Fernandez bahkan sempat terlihat limbung di lapangan. Ia harus berbaring sejenak agar tidak pingsan. Bayangkan, bermain sepak bola dalam suhu seperti itu bukan hanya melelahkan, tapi juga berbahaya bagi kesehatan.
Sayangnya, FIFA seolah tutup mata. Mereka bersikukuh bahwa manusia—termasuk pemain sepak bola—harus bisa beradaptasi dengan segala kondisi. Dengan dalih “adaptasi adalah kunci”, 22 pemain dipaksa menjadi “kelinci percobaan” di tengah krisis pemanasan global.
Padahal, di AS, suhu normal musim panas biasanya hanya sekitar 29°C. Ketika melonjak hingga 35,5°C, bermain sepak bola dalam kondisi seperti itu sama saja dengan mempertaruhkan nyawa. Performa pemain pasti menurun, risiko cedera meningkat, dan yang paling mengkhawatirkan—keselamatan mereka benar-benar di ujung tanduk.
Ini bukan sekadar masalah satu pertandingan. Tahun 2024 lalu, suhu bumi sudah melampaui 1,5°C dibanding masa pra-revolusi industri. Artinya, kita sudah melewati batas aman yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015. Jika terus begini, pertandingan sepak bola di masa depan bisa jadi seperti uji ketahanan hidup.
Piala Dunia Antarklub 2025 sendiri mengusung format baru. Sebanyak 32 klub dari lima benua berlaga, termasuk juara Liga Champions dan Copa Libertadores terbaru. Meski pesertanya tim-tim elite, banyak yang mempertanyakan keputusan FIFA.
Salah satu masalah terbesar adalah jadwal. Alih-alih liburan, mereka justru harus menguras tenaga lebih jauh.
Bayern München merasakan dampaknya. Jamal Musiala, bintang mereka, patah tulang fibula setelah bentrok dengan kiper PSG, Gianluigi Donnarumma. Musiala harus absen empat bulan—kerugian besar bagi klub dan pemain itu sendiri.
Donnarumma pun merasa bersalah, meski sebenarnya ini bukan sepenuhnya kesalahannya. Sepak bola modern memang menuntut fisik ekstrem, dan FIFA terus memaksakan turnamen baru tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.
baca juga: Indonesia Kena Sanksi FIFA Akibat Ulah Suporter
Juergen Klopp, mantan pelatih Liverpool, dengan tegas menyebut Piala Dunia Antarklub versi baru ini sebagai “ide terburuk dalam sejarah sepak bola”. Sementara Javier Tebas, Presiden La Liga, mendesak FIFA kembali ke format lama karena mengganggu ekosistem liga domestik.
FIFA seolah tak peduli. Mereka terus “mencuri” waktu istirahat pemain, memaksakan lebih banyak pertandingan, dan mengabaikan risiko jangka panjang.
Apa pendapatmu? Setuju kah FIFA terlalu memaksakan turnamen ini?