JAKARTA, desapenari.com – Tragedi 15 Juli 1998, Presiden Ketiga Republik Indonesia, BJ Habibie, mengeluarkan pernyataan genting atas peristiwa yang turut menjadi warna kelam sejarah bangsa Indonesia untuk melahirkan era reformasi.
Pernyataan itu berkaitan dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam bentuk perkosaan yang terjadi dalam proses pergantian rezim saat itu.
Habibie membacakan selembar kertas pernyataan yang kini diabadikan dalam prasasti yang terpampang di depan pintu masuk kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Pernyataan itu dengan jelas memberikan pengakuan dan penyesalan negara atas peristiwa pemerkosaan yang pernah terjadi.
“Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,” kata Habibie.
Dalam pernyataannya, Habibie atas nama kepala negara saat itu tidak hanya mengakui dan menyesal. Habibie juga menjanjikan pemerintah akan memberikan perlindungan keamanan kepada seluruh masyarakat untuk menghindari terulangnya kasus serupa yang disebut “sangat tidak manusiawi dalam sejarah bangsa Indonesia”.
Habibie juga meminta agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera jika melihat adanya kekerasan terhadap perempuan di mana pun.
Di akhir pernyataannya, Habibie kembali menegaskan atas nama pemerintah mengutuk aksi kekerasan dan peristiwa kerusuhan yang terjadi, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Pergantian tampuk kepemimpinan negeri ini dari rezim Orde Baru menuju Era Reformasi diawali dengan pembentukan berbagai lembaga baru.
Pemerintah melahirkan Komnas Perempuan sebagai lembaga pertama melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 pada 9 Oktober 1998.
Lembaga yang berkantor di Jalan Latuharhary Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat ini kerap menyandang gelar ‘Anak Sulung Reformasi’.
OJK Segera Blokir 4.000 Rekening Milik 2 Bos Judi Online – Ini Detail Lengkapnya!
Pemerintah memperkuat mandat Komnas Perempuan dengan merevisi Perpres No. 65/2005 melalui Perpres No. 8/2024.
Lembaga ini yang telah beroperasi selama 26 tahun bertugas mencegah terulangnya kasus perkosaan massal.
Fadli Zon sebut tak ada bukti pemerkosaan
Namun, peristiwa yang telah diakui negara itu kini hanya disebut sebagai rumor oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Dalam wawancara bersama IDN Times, Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya.
Menurutnya, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
“Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
Fadli mengaku pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.
“Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu,” ujar Fadli Zon.
Laporan TGPF bantah Fadli Zon
Namun, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkata lain dengan pernyataan Fadli Zon.
Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung bersama-sama membentuk TGPF Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 melalui keputusan bersama.
Adapun anggota TGPF terdiri dari unsur pemerintah, Komnas HAM, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi kemasyarakatan (ormas) lainnya.
Dalam laporan tersebut, TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan 1998. Laporan membagi kekerasan seksual dalam empat kategori: pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan dengan penganiayaan (14 korban), penyerangan seksual (10 korban), dan pelecehan seksual (9 korban).
Pemerintah mengakui secara resmi terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998 dan menindaklanjutinya dengan membentuk Komnas Perempuan melalui Keppres No. 181 Tahun 1998.
Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, mengatakan, sikap Fadli Zon yang menyebut fakta ini sebagai rumor sangat menyakitkan, khususnya bagi para korban.
“Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” katanya.
Dia juga mengingatkan, dokumen TGPF dan pengakuan Presiden Habibie adalah produk resmi negara.
Mengatakan perkosaan sebagai rumor bisa saja menyebut negara membuat sebuah kebohongan di tengah-tengah masyarakat.
“Oleh karenanya, menyangkal dokumen resmi TGPF berarti mengabaikan jerih payah kolektif bangsa dalam menapaki jalan keadilan. Sikap semacam itu justru menjauhkan kita dari pemulihan yang tulus dan menyeluruh bagi para penyintas,” imbuh Dahlia.