Damaskus, Desapenari.id – Suriah, Nora* duduk lemas, tubuhnya kurus kering, wajahnya dipenuhi bekas luka. Para algojo mencukur habis rambut Nora hingga botak, bahkan tak sehelai alispun mereka sisakan. Matanya yang kosong menatap lurus ke lensa kamera, sementara tangannya erat memeluk bayi yang pernah direnggut paksa darinya. Foto pertama setelah pembebasan itu pun menyebar bak api di media sosial, menjelma menjadi simbol penderitaan yang mengguncang seluruh Suriah. Perempuan Alawit seperti Nora kini jadi sasaran penculikan brutal. Kini, ia berusaha menghapus jejaknya dan memulai hidup baru di luar negeri.
(Catatan Redaksi: Alawi merujuk pada keyakinan atau mazhab, sedangkan Alawit adalah sebutan untuk orang-orang dari komunitas tersebut, seperti “perempuan Alawit”).
Selama hampir sebulan, Nora terkurung di ruang bawah tanah. Ia mengaku mengalami penyiksaan fisik dan psikologis setiap hari. Begitu tahu ia berasal dari komunitas Alawit, mereka langsung menyeretnya ke mobil dengan kasar. Matanya ditutup agar tidak bisa melihat lokasi penculikan.
“Aku menolak karena sudah menikah. Sejak itu, penyiksaan semakin kejam,” lanjutnya. Para penculik bahkan mengirim foto-foto penyiksaan itu kepada keluarganya sebagai ancaman. Setelah tebusan dibayar, Nora akhirnya bebas. Namun, ia kini harus menjalani perawatan serius akibat trauma dan cedera organ reproduksi.
Bukan Kasus Tunggal: Penculikan Sistematis terhadap Perempuan Alawit
Kisah Nora bukanlah yang pertama. Reuters dan sejumlah media internasional telah melaporkan banyak kasus serupa. Sejak awal tahun, lebih dari 40 perempuan Alawit dilaporkan hilang. Bassel Younus, aktivis HAM asal Suriah yang kini berada di Swedia, menyatakan bahwa mayoritas korban berasal dari komunitas Alawit—minoritas agama yang sama dengan Bashar al-Assad.
Kelompok radikal Sunni menganggap mereka “murtad” dan mendukung rezim Assad. Setelah kejatuhan Assad, serangan terhadap komunitas Alawit semakin brutal. Pada Maret lalu, ratusan orang tewas dalam serangan berdarah. Pemerintah transisi Suriah telah membentuk komisi penyelidikan untuk mengusut kasus-kasus ini, namun hingga kini mereka belum merilis hasil investigasinya.
“Kelompok-kelompok radikal sengaja menjadikan perempuan Alawit sebagai target utama,” tegas Bassel Younus, aktivis HAM yang memantau kasus-kasus ini dari Swedia. Mereka simbol penaklukan sebuah komunitas,” tegas Younus. Di penjara, Nora kerap dipanggil “babi” dan “kafir”. PBB juga telah menyelidiki kasus ini. Komisi Investigasi Independen PBB untuk Suriah mengonfirmasi setidaknya enam penculikan perempuan Alawit. Namun, pemerintah Suriah enggan memberikan klarifikasi kepada DW.
Tebusan dan Ancaman: Keluarga Hidup dalam Ketakutan
DW mewawancarai belasan keluarga korban dan aktivis HAM. Banyak yang enggan bicara karena takut atau malu. Namun, Sami, seorang pemuda dari Tartus, berani bercerita. Saudara perempuannya, Iman, hilang tanpa jejak. Tak lama kemudian, keluarga menerima telepon ancaman: “Lupakan Iman. Dia tidak akan kembali.”
Polisi awalnya menyepelekan, mengira Iman kabur dengan kekasih. Tapi kemudian, penculik menuntut tebusan lima digit. Keluarga mengirim uang via sistem Hawala ke Turki. Namun, setelah transfer, kontak terputus. Iman tetap hilang.
baca juga: Trump Cabut Sanksi Suriah, Saudi Banjiri AS dengan Investasi Triliunan Dolar
Maya*, 21 tahun, dan adiknya sedang berbelanja di pasar ketika tiba-tiba sekelompok pria bertopeng bersenjata menghentikan mereka. Para penculik itu langsung menodongkan senjata sambil bertanya kasar, “Kalian Alawit atau Sunni?” Saat Maya dan adiknya menjawab “Alawit”, para pria itu langsung menyeret mereka dengan paksa ke dalam sebuah bus buta nomor polisi.
Para penculik itu dengan cepat menutup mata kedua korban menggunakan kain hitam. Selama perjalanan, mereka terus meneriakkan hinaan ke arah Maya dan adiknya, “Dasar kafir! “Kalian pendukung Assad!” teriak para penculik dengan penuh kebencian.
Para penculik itu kemudian mengurung mereka di sebuah ruang bawah tanah gelap selama dua bulan penuh.
“Tapi agama jelas jadi alasan utama penculikan. Perempuan Alawit diserang karena keyakinan mereka—sama seperti Yazidi,” tegasnya. Maya dan adiknya akhirnya dibebaskan tanpa alasan jelas. Mereka pulang dalam keadaan trauma. Tapi banyak perempuan lain masih hilang.
(Nama diganti untuk melindungi identitas).