TANGERANG SELATAN, Desapenari.id – Bayangkan sebuah halaman luas yang bersebelahan dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang, Serpong, Tangerang Selatan. Sebagai permulaan, deretan karung putih yang berjejer rapi langsung menyambut setiap pengunjung yang datang. Tak kalah penting, karung-karung tersebut ternyata penuh sesak dengan botol plastik bekas yang jumlahnya mencapai ribuan dan terus berdatangan silih berganti sepanjang hari. Pada intinya, di sinilah Koperasi Pemulung Berdaya, atau yang juga dikenal sebagai Recycle Business Unit (RBU) Serpong, dengan gemilang mengubah limbah botol plastik berjenis Polyethylene Terephthalate (PET) menjadi sumber penghidupan bagi banyak keluarga.
Mari kita lihat lebih dekat, di tempat yang penuh semangat ini, para anggota koperasi secara aktif mengumpulkan botol-botol plastik bekas dari berbagai penjuru. Kemudian, dengan penuh ketelitian, mereka memilahnya satu per satu sebelum akhirnya mencacahnya menjadi serpihan plastik yang memiliki nilai jual tinggi. Yang sungguh mengejutkan, tempat yang terlihat sederhana dan beroperasi di pinggiran TPA ini ternyata sanggup mengelola ratusan ton sampah setiap bulannya! Sebenarnya, kredibilitas dan otoritas koperasi ini terbangun dari perjalanan panjangnya.
Sekretaris Koperasi Pemulung Berdaya, Julaeha (35), dengan penuh semangat memaparkan asal-usul koperasi ini. Menurut penuturannya, koperasi ini berawal dari program CSR Danone pada 2010. Pada masa itu, bentuknya belum berupa koperasi, melainkan hanya sebuah unit daur ulang yang bekerja sama dengan sebuah LSM. Namun, tiga tahun berselang, Danone memutuskan untuk bekerja sama langsung dengan para pemulung di Kampung Cipeucang, Desa Kademangan, dan akhirnya mendirikan koperasi agar pengelolaannya menjadi lebih terstruktur dan profesional.
Hasilnya sungguh luar biasa! Dari yang awalnya hanya mengelola sekitar 5 ton sampah per bulan, saat ini kapasitas pengelolaan koperasi telah melonjak secara drastis hingga mencapai 150 ton per bulan. Setiap harinya, puluhan pick-up dan truk sibuk hilir mudik secara bergantian untuk membawa botol plastik dari 300–400 lapak, bank sampah, restoran, hingga berbagai instansi perkantoran. Sementara itu, jaringan pemulung yang terhubung dengan koperasi ini bahkan mencapai sekitar 4.000 orang di seluruh area Jabodetabek yang dihubungkan oleh para pelapak. Sebagai informasi, “Kalau anggota yang kerja langsung di sini (koperasi pemulung) ada 53 orang,” tegas Julaeha.
Lalu, bagaimana proses kerjanya? Kelima puluh tiga anggota tersebut dengan penuh disiplin menjalankan tugasnya setiap hari untuk memilah botol berdasarkan standar ketat yang telah ditetapkan. Misalnya, label harus dilepas, tutup botol dibuang, botol tidak boleh terbakar, tidak boleh berbau menyengat, dan warnanya harus sesuai. Dari sekitar 6 ton botol yang masuk per hari, sebanyak 90 persennya berhasil diproses, sementara sisanya terpaksa dikembalikan ke pelapak karena tidak memenuhi kriteria. Dari serangkaian proses yang rumit ini, mereka akhirnya mampu meraup omzet yang fantastis, mencapai miliaran rupiah. Bahkan pada puncaknya, ketika kondisi pengiriman sedang ramai-ramainya, omzet mereka pernah menyentuh angka Rp 1,2 miliar!
Akan tetapi, kisah sukses ini juga tidak lepas dari tantangan. Julaeha mengakui bahwa omzet miliaran tersebut jarang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Belakangan ini, omzet mereka justru sering mengalami penurunan hingga hanya mencapai ratusan juta rupiah. Apa penyebabnya? Biaya operasional yang terus meningkat, harga bahan baku yang harus bersaing ketat, mesin yang sering bermasalah, dan penyusutan bahan baku yang mencapai 10–15 persen menjadi kendala utama. Dengan jujur ia menjelaskan, “Sebenarnya untuk omzet sih kalau pas lagi banyak barang ya, kita bisa Rp 1,2 miliaran, tapi kalau lagi sepi ya paling berapa gitu kan ga sampai segitu.”
Selain itu, Julaeha juga menekankan bahwa angka omzet Rp 1,2 miliar itu merupakan pendapatan kotor yang masih harus dibagi-bagi lagi untuk berbagai keperluan koperasi. Antara lain, untuk membayar gaji karyawan, biaya listrik, perawatan mesin, hingga biaya logistik. Oleh karena itu, “Jadi belum tentu juga untung. Usaha daur ulang itu kompleks,” ucap dia dengan nada bijak. Namun demikian, pengalaman dan keahlian mereka dalam mengatasi kompleksitas inilah yang membangun kepercayaan.
Meski dihadapkan pada beragam tantangan, dampak positif koperasi ini bagi masyarakat sekitar benar-benar terasa sangat nyata. Banyak dari para pekerja, yang mengaku terbantu secara ekonomi sejak mereka memutuskan untuk bergabung. Terutama bagi para ibu rumah tangga, kehadiran koperasi ini bagai angin segar. Ada yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga meraih gelar sarjana, ada pula yang sukses membangun rumah kontrakan, dan bahkan ada yang mampu membeli sawah di kampung halamannya. Sementara itu, para pemulung yang bekerja sama dengan koperasi rata-rata menjual 5–10 kilogram botol PET setiap kali setor, dengan harga beli Rp 5.000 per kilogram. Memang, jumlah itu terlihat sederhana, tetapi ia telah menjadi penghasilan rutin yang dengan setia menggerakkan roda perekonomian keluarga.
Ke depan, Julaeha dengan penuh antusias menyatakan bahwa koperasi memiliki banyak rencana pengembangan. Salah satunya, mereka berencana untuk mulai mengelola sampah karton, HDPE, dan multilayer mulai tahun depan. Tak hanya itu, jaringan mereka juga telah berhasil melebar ke berbagai daerah, mulai dari Bekasi, Sukabumi, Gunung Sindur, hingga Labuan Bajo. Dengan kondisi yang terus berkembang ini, Juleha berharap semakin banyak daerah yang memiliki fasilitas daur ulang mandiri. Harapannya, sampah plastik tidak lagi menumpuk begitu saja di tempat pembuangan akhir. Sebagai penutup, ia berpesan dengan penuh keyakinan, “Sampah itu kalau dipilah benar, nilainya naik. Kalau nyampur, nilainya kecil. Tapi kalau dipilah, bisa jauh lebih tinggi. Bisa jadi cuan banget!”
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com

