Desapenari.id – Presiden Prabowo Subianto sedang mempersiapkan sebuah langkah besar! Beliau berencana membentuk Komite Reformasi Kepolisian yang akan menggelar evaluasi komprehensif terhadap Polri. Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, langsung menegaskan bahwa langkah ini sama sekali bukan bentuk ketidakpercayaan. Justru, ini merupakan upaya nyata untuk memperkuat salah satu institusi paling vital di Indonesia. “Presiden memiliki tekad agar Polri tetap dicintai masyarakat. Oleh karena itu, evaluasi dan perbaikan mutlak diperlukan,” ucap Prasetyo dengan tegas di Istana Negara, Rabu (17/9/2025).
Saat ini, susunan anggota komite masih dalam tahap persiapan intensif. Meski nama mantan Menko Polhukam Mahfud MD sempat bergulir, Prasetyo memastikan bahwa posisi ketua belum ditetapkan. Di sisi lain, Ahmad Dofiri sudah secara resmi ditunjuk sebagai Penasihat Khusus Presiden bidang Keamanan dan Reformasi Kepolisian. Komite ini pun ditargetkan akan terbentuk pekan depan, di tengah sorotan publik yang semakin panas terhadap serangkaian kasus yang sempat menggerus kepercayaan masyarakat kepada Polri.
Lalu, apa sebenarnya pandangan para pengamat mengenai urgensi pembentukan Komite Reformasi Kepolisian ini? Simak ulasan lengkapnya!
Urgensi Pembentukan Komite Reformasi Kepolisian: Sebuah Kebutuhan Mendesak!
Cecep Hidayat, seorang Pengamat Politik ternama dari Universitas Indonesia (UI), menilai langkah Presiden membentuk komite ini merupakan respons langsung atas kebutuhan mendesak yang selama ini terus disuarakan publik. Menurutnya, legitimasi Polri sebagai institusi penting negara sedang menghadapi tantangan serius akibat rentetan kasus besar. “Kasus Ferdy Sambo, pengelolaan anggaran BPO, KM 50, hingga segudang pelanggaran aparat di lapangan dalam beberapa waktu terakhir menjadi bukti nyata betapa delegitimasi terhadap Polri semakin menguat,” jelas Cecep dengan gamblang pada Jumat (19/9/2025).
Ia melanjutkan bahwa berbagai persoalan tersebut telah menggerus kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian yang seharusnya menjadi pilar utama penegakan hukum dan keamanan dalam negeri. Dalam situasi kritis seperti ini, pembentukan komite tidak boleh dilihat sekadar sebagai langkah administratif belaka. Lebih dari itu, ini adalah simbol politik bahwa pemerintah ingin menegaskan komitmen seriusnya untuk melakukan perbaikan. “Pemerintah tentu ingin menunjukkan bahwa mereka responsif terhadap tuntutan publik. Dengan adanya komite, legitimasi negara di mata masyarakat bisa sedikit dipulihkan,” ungkapnya.
Reformasi Harus Sentuh Tiga Dimensi Utama: Jangan Cuma Permukaan!
Cecep kemudian menekankan sebuah poin krusial: tugas komite tidak boleh berhenti hanya pada laporan normatif yang bersifat formalitas. Komite harus berani menyentuh persoalan paling mendasar yang bersarang di tubuh Polri. “Reformasi tidak cukup hanya pada level struktur kelembagaan. Yang perlu disentuh lebih dalam adalah aspek budaya, nilai, norma, hingga prosedur kerja yang selama ini melekat di tubuh organisasi kepolisian,” tegas Cecep.
Dalam kerangka demokrasi, ia menjelaskan, reformasi harus menyentuh tiga dimensi utama secara bersamaan, yaitu struktur, kultur, dan prosedur. Pertama, struktur merujuk pada tata kelembagaan dan posisi institusi kepolisian dalam sistem politik. Kedua, kultur mencakup nilai, kebiasaan, dan pola perilaku aparat di lapangan. Ketiga, prosedur berkaitan dengan mekanisme formal dalam menjalankan tugas sehari-hari. “Komite bisa berfungsi sebagai instrumen diagnosis yang menilai di mana letak masalah terbesar. Apakah pada struktur komando, budaya aparat yang masih feodal, atau prosedur penegakan hukum yang sering tidak konsisten. Dari sana, rekomendasi perubahan bisa dirumuskan lebih tajam dan tepat sasaran,” tambahnya dengan penuh keyakinan.
Waspadai Risiko Reformasi Setengah Jalan!
Meski mendukung penuh pembentukan komite, Cecep juga tidak lupa memberikan peringatan keras. Menurutnya, risiko paling berbahaya adalah jika reformasi hanya berjalan setengah hati atau malah berhenti di tengah jalan. “Jika itu terjadi, publik akan melihat ini sebagai manuver politik jangka pendek belaka. Ingat, di era media sosial yang serba transparan seperti sekarang, persepsi negatif seperti itu bisa terbentuk dengan sangat cepat,” ujarnya mewanti-wanti.
Cecep memberikan contoh konkret: bila komite hanya menyentuh aspek-aspek ringan seperti kebijakan teknis atau sekadar merombak aturan internal tanpa mengubah budaya aparat, maka hasilnya pasti tidak akan signifikan. “Reformasi model begini hanya akan dipandang sebagai perubahan kosmetik. Alih-alih percaya, publik justru akan tetap menilai Polri tidak berubah sama sekali,” tegasnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa potensi resistensi atau penolakan dari dalam tubuh kepolisian sendiri sangat mungkin terjadi. Perubahan kultural seringkali dianggap sebagai ancaman terhadap zona nyaman yang sudah mapan. “Jangan lupa, kepolisian adalah institusi besar dengan tradisi yang sangat panjang. Perubahan yang mengganggu status quo tentu akan memunculkan perlawanan, baik secara tersirat maupun terang-terangan,” katanya.
Di akhir analisisnya, Cecep menutup dengan penekanan pada pentingnya keberanian politik dari pucuk pimpinan. “Komite ini hanya akan bermakna jika ada dukungan politik yang sangat kuat dari Presiden. Tanpa itu, semua usaha reformasi hanya akan berakhir sebagai dokumen rekomendasi yang mangkrak di atas kertas,” tandasnya. Nah, sekarang tinggal kita tunggu saja, apakah komite ini akan menjadi game changer atau sekadar pencitraan semata?
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com
