Sisi Gelap Kepemimpinan Populis yang Bikin Gaduh

desapenari.id — Sisi Gelap Kepemimpinan Populis yang Bikin Gaduh. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi belakangan ramai diperbincangkan di media sosial. Mulai dari YouTube, Instagram, Twitter, Facebook, hingga TikTok, namanya terus mencuat dan memantik perdebatan tentang gaya kepemimpinan populis. Situasi ini mengingatkan kita pada 13 tahun lalu, saat Jokowi pertama kali muncul di panggung nasional lewat Pilkada DKI Jakarta 2012.

Kala itu, Jokowi sukses membangun citra sebagai pemimpin sederhana dan dekat dengan rakyat. Ia dengan lihai memposisikan diri sebagai “orang biasa” yang berbeda dari elite politik. Berbeda dengan presiden sebelumnya—seperti Gus Dur (keturunan kiai besar), Megawati (putri Soekarno), atau SBY (menantu jenderal)—Jokowi justru menonjolkan latar belakangnya sebagai anak kecil dari keluarga sederhana.

Tak hanya lewat narasi, Jokowi juga aktif membangun citra populis lewat aksi nyata. Saat jadi Wali Kota Solo, ia bernegosiasi langsung dengan pedagang kaki lima. Lalu, sebagai Gubernur DKI, ia blusukan ke gang sempit, bahkan nekat masuk gorong-gorong pakai seragam Korpri. Aksi-aksi ini langsung viral di media sosial dan memancing reaksi pro-kontra.

Momen kebangkitan Jokowi berbarengan dengan era meledaknya penggunaan media sosial. Konten-konten tentang dirinya menyebar cepat, membuat namanya kian populer. Puncaknya, PDIP pun mengusungnya sebagai calon presiden di Pilpres 2014. Dan seperti yang kita tahu, sejarah kemudian mencatatnya sebagai presiden.

Dedi Mulyadi: Jokowi-nya Jawa Barat?
Karier politik Dedi Mulyadi sebenarnya mirip dengan Jokowi. Keduanya sama-sama pernah memimpin daerah—Jokowi di Solo, Dedi di Purwakarta. Mereka juga sama-sama naik ke level provinsi: Jokowi jadi Gubernur DKI, Dedi kini memimpin Jawa Barat.

Bedanya, Dedi punya latar belakang aktivisme yang lebih kuat. Ia pernah mendirikan HMI Cabang Purwakarta dan duduk di DPRD maupun DPR RI. Sementara Jokowi cuma punya pengalaman di Mapala. Tapi, dalam hal membangun citra populis, keduanya sama-sama jago memanfaatkan media digital.

Namun, belakangan Dedi Mulyadi justru banyak bikin kontroversi. Ia kerap mengeluarkan kebijakan yang mengandalkan retorika emosional, tapi minim riset. Misalnya, wacananya mengirim siswa nakal ke barak militer atau syarat vasektomi untuk bansos. Kebijakan-kebijakan ini terkesan impulsif dan tidak menyentuh akar masalah.

Belum lagi kasus debatnya dengan seorang remaja, Aura Cinta, yang malah berujung pada doxing dan perundungan di media sosial. Alih-alih fokus pada solusi ekonomi, publik justru sibuk membandingkan cara debat Dedi dengan sang remaja.

Sisi Gelap Kepemimpinan Populis: Simpel di Permukaan, Rumit di Dasar
Kepemimpinan populis seringkali terlihat menggiurkan karena menawarkan solusi instan. Tapi sebenarnya, gaya kepemimpinan ini punya banyak masalah. Pemimpin populis cenderung melihat persoalan secara dangkal, tanpa mau menyelami kompleksitas di baliknya.

Seperti teori Max Weber tentang verstehen, memahami masalah tidak cukup sekadar tahu, tapi harus benar-benar merasakan dan berempati. Sayangnya, pemimpin populis lebih suka mengambil jalan pintas dengan retorika yang memancing emosi.

Akibatnya, masyarakat terpolarisasi: pro vs kontra, setuju vs tidak setuju. Di era post-truth seperti sekarang, kebenaran jadi sangat subjektif. Orang lebih memilih membela idola mereka daripada mencari fakta sebenarnya.

Yang lebih berbahaya, kepemimpinan populis seringkali bersifat narsistik. Pemimpinnya merasa paling benar, enggan dikritik, dan cenderung otoriter. Kebijakan dibuat sepihak, tanpa melibatkan analisis mendalam atau masukan publik. Alih-alih memperkuat demokrasi, gaya kepemimpinan seperti ini justru melemahkannya karena mengabaikan aturan dan aspirasi rakyat.

Jadi, Populisme Solusi atau Bencana?
Dari Jokowi hingga Dedi Mulyadi, kepemimpinan populis memang efektif membangun popularitas. Tapi di balik gemerlap citra, ada banyak risiko yang mengintai. Mulai dari kebijakan serampangan, polarisasi masyarakat, hingga ancaman terhadap demokrasi.

Pertanyaannya: apakah kita butuh pemimpin yang hanya pandai bicara, atau yang mau turun memahami masalah secara mendalam? Jawabannya ada di tangan kita.

More From Author

Kapolda Banten Minta Copot Atribut Ormas di Kendaraan!

Pembobol Konter HP di Jagakarsa Diciduk Saat Mau Kabur ke Bali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *