Desapenari.id – Kisah Getir Kurir Paket: Terjepit Upah Minim. Di balik pesatnya tren belanja online, kurir paket justru menghadapi realitas pahit. Meski menjadi ujung tombak industri ini, upah yang mereka terima sering tak sepadan dengan beban kerjanya. Seperti yang dialami Riskana (42) dan Aqil (24), mereka harus berjuang setiap hari dengan penghasilan berdasarkan jumlah paket, tanpa upah tetap.
Mekanisme Upah yang Tak Pasti
Riskana mengantarkan paket dengan tarif Rp 1.800 per kiriman. Untuk paket lebih dari 3 kg, perusahaan memberlakukan tarif Rp 5.500 yang dibayarkan setiap bulan. “Kalau dalam sebulan saya kirim 2.000 paket, penghasilan bisa Rp 3,6 juta. Pernah sampai 2.500 paket, dapatnya Rp 5 juta lebih karena ada paket berat,” ceritanya kepada Kompas.com, Rabu (21/5/2025).
Selain itu, kurir bisa dapat insentif Rp 200.000 di hari besar—tapi syaratnya harus mengantar minimal 50 paket. Sayangnya, pendapatan mereka tak utuh karena harus menyetor deposit Rp 3 juta sebagai jaminan.Perusahaan memotong 10% dari gaji bulanannya untuk deposit. “Kalau gaji saya Rp 2 juta, mereka potong Rp 200.000. Mereka akan mengembalikan deposit itu tiga bulan setelah saya berhenti kerja,” jelas Riskana.

Sementara itu, Aqil (24), kurir di Kramat Jati, Jakarta Timur, mengungkap statusnya hanya sebagai mitra, bukan karyawan tetap. Artinya, ia tak dapat gaji pokok—hanya dibayar Rp 2.000 per paket. “Kalau sehari bisa bawa 70-100 paket, ya dapat Rp 140.000-200.000. Tapi kalau sepi, ya terpaksa gigit jari,” ujarnya, Kamis (22/5/2025).
Status Mitra yang Rentan
Sebagai mitra, Aqil mengaku sering kalah bersaing dengan kurir berstatus karyawan. “Paket biasanya diutamakan untuk kurir dedicated. Kami dapat sisa-sisa,” keluhnya. Tak hanya itu, risiko kerugian juga mengintai. Pernah suatu kali, ia harus mengganti Rp 150.000 karena paket hilang. “Teman saya sampai bayar Rp 2 juta gara-gara kehilangan HP,” tambahnya.
Kebijakan pemerintah yang membatasi gratis ongkir juga jadi ancaman. Aqil khawatir, jika transaksi turun, mitra seperti dirinya bakal kesulitan dapat paket. “Kalau pengiriman sepi, kami yang pertama kena dampaknya,” ucapnya.
Beban Kerja vs Perlindungan Minim
Saleh (37), kurir di Jakarta Timur, mengaku dulu sempat jadi karyawan tetap dengan gaji pokok dan BPJS. Namun, kini statusnya beralih ke mitra dengan upah Rp 1.800 per paket. “Dulu lebih aman, sekarang penghasilan fluktuatif,” katanya.
Ia juga menyoroti dampak pembatasan gratis ongkir. “Kalau volume kirim turun, otomatis pendapatan kami ikut merosot,” ujarnya prihatin.
Baca Juga: Indonesia Jadi Negara dengan Hambatan Dagang Tertinggi
Meski terlihat sederhana, pekerjaan kurir sarat dengan tekanan. Mereka harus menanggung beban kerja tinggi, risiko kerugian, dan ketidakpastian penghasilan. Sistem yang ada justru menuntut produktivitas tanpa jaminan perlindungan memadai.
Di tengah peran vital mereka dalam ekonomi digital, para kurir berharap perusahaan ekspedisi dan pemerintah memberikan perhatian lebih.