JAKARTA, desapenari.id – Djuyamto Jadi Korban Ketidakadilan. Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), menyampaikan keprihatinan mendalam atas nasib hakim-hakim jujur di Indonesia yang justru disingkirkan. Ia mencontohkan sosok Hakim Djuyamto, yang berupaya membersihkan sistem peradilan namun malah mendapat perlakuan tidak adil.
baca juga: Hubungan Indonesia-Australia
“Saat ini, hakim yang jujur justru terbuang. Ambil contoh Djuyamto,” tegas Mahfud dalam program Gaspol! Kompas.com, Selasa (13/5/2025). “Tahun 2011, dia mendatangi Komisi Yudisial (KY) dengan tekad memutus mata rantai kolusi di pengadilan. Dia berseru, ‘Pak, kita harus mengakhiri praktik kotor ini. Pengadilan harus bersih!’”
Mahfud menjelaskan bahwa KY kala itu langsung memberikan pembinaan kepada Djuyamto. “Bahkan, Djuyamto sempat menggarap secara serius usulannya untuk meningkatkan kesejahteraan hakim, termasuk kenaikan gaji. Namun, alih-alih mendapat dukungan, pimpinan Mahkamah Agung (MA) justru mencercanya.”
“Djuyamto malah dimarahi,” ujar Mahfud. “Pimpinan MA menegurnya, ‘Kamu malu-maluin, minta gaji naik!’ Padahal, dia hanya ingin hakim tidak kelaparan dan bisa bekerja dengan layak.”
baca juga: Kasus Korupsi yang Membelit BUMN
“Tak berhenti di situ, Mahfud mengungkapkan bahwa pihak tertentu kemudian memindahkan Djuyamto secara sepihak ke daerah terpencil di luar Jawa. ‘Pada tahun 2012, mereka membuang hakim jujur ini ke ‘daerah kuntilanak’—jauh dari pusat peradilan,’ sindirnya.”
Merasa diperlakukan tidak adil, Djuyamto pun kembali mengadu ke KY. “Dia datang ke rumah anggota KY dan mengeluh, ‘Pak, mau berbuat baik kok susah. Saya malah dibuang,’” kisah Mahfud.
Ironisnya, beberapa tahun kemudian, Djuyamto justru kembali ke Jakarta dan terlibat dalam kasus korupsi. “Inilah bukti sistem yang meminggirkan orang baik,” tandas Mahfud.
Analisis: Sistem yang “Menghukum” Kejujuran
Mahfud menegaskan bahwa kasus Djuyamto bukan sekadar persoalan individu, melainkan cermin buruknya sistem peradilan Indonesia. “Ketika hakim berani bersuara, mereka dihukum. Ketika mereka diam, korupsi merajalela,” paparnya.
Ia juga menyoroti lemahnya perlindungan bagi hakim yang berintegritas. “KY dan MA seharusnya menjadi tameng, bukan malah membiarkan ketidakadilan terjadi,” kritiknya.
Kisah Djuyamto memantik reaksi keras dari pegiat antikorupsi. Mereka menuntut reformasi total di tubuh peradilan. “Kasus ini harus jadi alarm. Jangan sampai hakim jujur terus dikorbankan,” desak salah satu aktivis.
Sementara itu, KY dan MA belum memberikan tanggapan resmi. Namun, insiders mengaku bahwa isu ini telah menjadi pembicaraan internal. “Kami sedang mengevaluasi kebijakan mutasi hakim,” ujar seorang sumber di MA.
Mahfud menutup dengan pesan tegas: “Jika kita ingin peradilan bersih, mulailah dengan menghargai hakim yang jujur. Jangan biarkan mereka mati langkah.”
Kini, bola berada di tangan pemerintah dan penegak hukum. Akankah mereka bergerak, atau membiarkan kisah pilu seperti Djuyamto terulang lagi?