desapenari.id – Menjelang Ramadan hingga Lebaran, masyarakat kerap menikmati beragam hidangan khas, baik tradisional maupun modern. Sayangnya, banyak orang semakin jarang membuat dan mengonsumsi beberapa makanan khas daerah, sehingga nyaris punah.
BACA JUGA : Cegah Kaki Bengkak saat Mudik, Dokter Bagikan Tips Sehat
Tujuh hidangan tradisional ini semakin sulit ditemui saat Ramadan hingga Lebaran.
1. Kue Satu
Masyarakat mengenal kue satu sebagai jajanan legendaris yang populer di era 1990-an. Perpustakaan Digital Budaya Indonesia mencatat bahwa nama “kue satu” muncul karena proses pembuatannya membutuhkan ketelitian tinggi. Pengrajin mencetak adonan tepung kacang hijau dan gula satu per satu sebelum memanggangnya hingga mengeras.
2. Sambai Oen Peugaga
Sambai oen peugaga, yang berarti sambal daun pegagan, adalah kuliner khas Aceh yang biasa masyarakat sajikan untuk menyambut Ramadan. Menurut repository Kemdikbud, hidangan ini menggunakan bahan dasar daun pegagan yang masyarakat campur dengan berbagai jenis daun tanaman lain yang mereka iris tipis.
3. Kue Putu Ratih
Masyarakat Kalimantan membuat kue putu ratih dari padi dan gula merah. Mereka biasanya menyajikan kue ini sebagai suguhan bagi tamu saat Lebaran. Namun, keahlian untuk membuat kue ini semakin jarang ditemukan.
4. Sokko Palopo
Sokko berarti beras ketan, sedangkan palopo merujuk pada gula kelapa. Hidangan khas Bugis ini biasanya hadir saat Ramadan dan dalam acara syukuran setelah panen. Sokko palopo melambangkan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah dan harapan untuk rezeki yang lebih baik di masa mendatang.
5. Sayur Babanci
Masyarakat Betawi biasanya menyajikan sayur babanci, atau ketupat babanci, saat Lebaran. Menurut laman Jakarta Tourism, istilah “babanci” berasal dari perpaduan “babah” dan “enci”, yang mengacu pada pengaruh masyarakat Tionghoa dalam hidangan ini. Proses memasak sayur babanci cukup sulit karena membutuhkan 21 jenis bahan, yang sebagian besar kini langka di pasaran. Saat ini, hanya sedikit daerah di pinggiran Jakarta yang masih mempertahankan tradisi memasaknya.
6. Geseng Bangsong
Geseng bangsong merupakan hidangan khas Dusun Wijenan Kidul, Desa Singosaren, Singojuruh, Jawa Timur. Masyarakat biasanya menyajikannya dalam acara keagamaan, seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha. Hidangan berbahan dasar daging itik ini memiliki rasa asam dan pedas. Sayangnya, keberadaannya semakin langka dan sulit ditemukan.
7. Bubur Jali
Bubur jali adalah takjil khas Betawi yang memiliki rasa manis. Masyarakat memasak hidangan ini dengan mencampurkan biji jali, gula merah, daun pandan, dan santan kelapa. Menurut laman Pemprov Jakarta, bubur jali cocok mengembalikan energi setelah berpuasa. Namun, seiring waktu, masyarakat semakin sulit menemukan hidangan ini.
BACA JUGA : Kue Lebaran Murah! Hanya Rp 22 Ribu per Stoples
Meski mulai langka, hidangan-hidangan ini memiliki nilai budaya yang tinggi. Masyarakat harus melestarikan hidangan tradisional ini agar hidangan tersebut tetap ada dan generasi mendatang dapat menikmatinya.
One thought on “Hidangan Tradisional Ramadan-Lebaran yang Kian Langka”